Translate This Page

Wednesday, November 14, 2012

Blood and tears

“Sudah tiba,”

Aku menatap ke arah gedung apartemen Tiffany. Gedung setinggi dua puluh lima lantai itu nampak menjulang tinggi, menerangi langit hitam dengan cahaya lampu di setiap lantainya.

“Akhirnya tiba juga. Perjalanan pulang tadi terasa lama,” ujarku.
“Ya, begitulah. Dan kau... Apa kau ingin menginap? Sudah malam, dan aku takut kau malah tak bisa masuk ke rumah,” tawar Tiffany.
“Tidak, terima kasih. Kau harus beristirahat. Jika aku menginap di tempatmu, kau takkan bisa tidur karena aku akan mendengkur,”
“Ah, kau takkan mendengkur. Kau kan masih polos,”
“Ah, lagi-lagi kau menyebutku polos. Hmm... Baiklah, kurasa kau lebih baik segera naik ke apartemenmu. Di luar dingin dan kau bisa sakit,”
“Lalu kau sendiri?”
“Aku akan berjalan sampai stasiun MRT,”
“Apa kau yakin? Atau, bagaimana kalau kau naik taksi saja?”
“Entahlah. Lihat saja nanti,”
“Tapi entah kenapa aku khawatir denganmu. Sudahlah, kau menginap saja semalam,”
“Tak perlu. Aku hanya akan merepotkanmu,”
“Tentu saja tidak! Kau kan akan sudah bersedia membantuku untuk mengurus tempat konser anak-anak. Lantas, kenapa aku tak bisa membantumu?”
“Tapi aku memang tak bisa. Aku harus bekerja besok. Lagipula, kasihan adikku pasti menunggu di rumah,”

Tiffany menghela nafas panjang. Ia lalu menggosok-gosokkan kedua tangannya.

“Sudah, kau lebih baik masuk ke apartemenmu sekarang. Kau pasti kedinginan,” ujarku.
“Kurasa begitu. Baiklah kalau kau memang harus pulang. Hati-hati di jalan, Lee. Kalau ada apa-apa beritahu aku, dan...”
“Dan apa?”
“Terima kasih untuk malam ini,”

Aku tersenyum padanya. Tiffany lalu berbalik dan pergi masuk ke gedung apartemennya. Aku mengawasinya sampai ia benar-benar masuk ke dalam lift. Setelah yakin bahwa ia akan aman, aku pun bergegas pulang. Ah, stasiun MRT terdekat dari sini jaraknya cukup jauh. Aku harus berlari nampaknya agar bisa sampai lebih cepat.

“Malam ini dingin juga rupanya,” gumamku.

Aku berjalan di trotoar sambil mencoba menghibur diriku sendiri yang kedinginan. Ya, aneh sekali malam ini begitu dingin. Padahal biasanya, malam-malam di Singapura terasa panas. Atau setidaknya, malam-malam tak pernah sedingin ini. Sedang berusaha menembus dinginnya malam, aku mendengar suara berderu dari arah belakang. Tumben sekali ada truk atau bus yang lewat ke jalan ini. Biasanya, hanya mobil-mobil pribadi yang melalui jalan ini. Maklum saja, ini area perumahan dan sebenarnya memang mobil-mobil besar, bus, atau truk tak bisa menggunakan jalan ini dengan bebas. Semakin lama suara menderu itu semakin nyaring terdengar, dan yang membuatku terkejut adalah ketika kudengar suara klakson yang cukup nyaring. Aku berbalik dan beberapa orang menghentikan motornya di sampingku. Ada beberapa orang dengan pakaian serba hitam menghampiriku. Beberapa dari mereka membawa tongkat pemukul baseball dan botol bir. Di antara orang-orang itu, ada dua orang yang kukenal. Kevin, sahabatku sejak sekolah dasar dan... Mike, lagi?

“Kau butuh tumpangan?” tawar Mike.
“Mau apa lagi kau?” tanyaku kesal.
“Aku hanya menawarimu tumpangan. Toh sedari tadi kau pergi dengan kendaraan umum saja. Pasti kau tak punya uang untuk membeli motor atau mobil,”
“Memang apa urusanmu?”
“Huh, anak bodoh.. Kalau kau ingin berpacaran, lebih baik punya kendaraan. Ayolah, jangan membuatmu tampak konyol di depan Tiffany,”
“Kau mengikutiku dari tadi?!”

Mike langsung menghampiriku dan mencengkram leherku kuat. Ia lalu mendorongku ke pagar dan mengangkatku cukup tinggi sehingga membuatku tak bisa bernafas.

“Le, lepaskan!” aku meronta.
“Mau sampai kapan kau kabur seperti ini, hah?! Kau lupa bahwa kau masih ada urusan dengan kami?” tanya Mike sinis.
“Urusan apa lagi?! Kalian sudah cukup membuat hidupku dan hidup teman-temanku hancur! Mau apa lagi?!”
“Kau pikir pengkhianatan bisa dimaafkan semudah itu, hah?! Jangan bodoh! Kau tak lihat apa yang anak-anak ini bawa?”
“Aku tak takut!”
“Cih, dasar gelandangan! Anak-anak, habisi saja dia!”

Mike melemparku ke trotoar, dan belum siap aku dengan kuda-kudaku, orang-orang itu sudah menyerangku. Kontan saja aku sulit menyerang balik. Satu orang melawan empat orang. Tangan kosong melawan tangan bersenjata. Bagaimana aku bisa menang? Aku lantas lebih banyak melindungi diriku sendiri, menangkis serangan mereka semampuku. Perut, dada, betis, dan kepalaku jadi sasaran mereka. Jemariku terasa sangat sakit karena terkena hantaman tongkat baseball ketika aku melindungi bagian belakang kepalaku. Aku mencoba menendang beberapa dari mereka di bagian perut dan dada. Dalam keadaan seperti ini, kemampuan Taekwondo-ku memang harus kugunakan. Tapi sehebat apapun kemampuan Taekwondo-ku, jika diserang oleh banyak orang seperti ini tetap saja aku kalah. Aku pun semakin melemah, sementara mereka terus saja membabi buta. Klimaksnya, kepala dan punggungku terkena hantaman tongkat baseball dan aku langsung terkapar. Sambil menahan sakit, aku berusaha untuk bangkit, tapi tak bisa. Mike menghampiriku dan memijakkan kakinya di kepalaku.

“Kuberi kau dua pilihan, kembali bersama kami atau kau akan terus mengalami mimpi buruk semacam ini,” ujarnya.
“Aku... Aku tak...”
“Jawab sekarang!!”

Mike malah menjejakkan kakinya lebih keras. Aku mengerang kesakitan.

“Jawab sekarang!”
“Aku... aku tak mau bergabung bersama kalian lagi!”

Mike mengangkat kakinya dari kepalaku, dan menendang punggungku. Aku sudah tak mampu untuk berteriak meminta tolong. Hanya eranganku yang terdengar oleh orang-orang di sekitarku saja.

“Lee, bahkan sahabatmu sendiri tak ingin sepertimu! Sahabatmu tak ingin menjadi pengkhianat! Ia memilih tetap bersama kami daripada harus menjadi pengkhianat sepertimu!” bentak Mike.
“Kalian yang menghasut Kevin!” tepisku.

Dengan pandangan yang buram, kutatap Kevin. Kevin hanya bisa menatapku dalam bisu. Ia melihatku dengan tatapan dingin.

“Kevin, kau tahu kita bersahabat sejak dulu. Aku percaya padamu. Mereka pasti menghasutmu!” ujarku.
“Kau yang berkhianat,” ujar Kevin dingin.
“Apa?”
“Kau yang berkhianat. Aku tahu itu,”

Aku terkejut mendengar ucapan Kevin. Kenapa, kenapa ia, sahabatku tak menolongku? Bahkan ketika aku dipukuli pun ia hanya menonton saja, melihatku babak belur dan terkapar bersimbah darah.

“Nah, kau dengar itu, Lee? Sahabatmu sudah tak mau lagi percaya padamu!” Mike memanas-manasi keadaan.
“Aku tak peduli! Kevin, kita masih bersahabat, ‘kan? Kau ingat ketika kita masih bersekolah dulu, kau selalu memintaku menolongmu mengajari matematika. Kau akan marah jika aku tak menemanimu. Ketika aku tak sengaja meninggalkanmu di kelas musik, kau menangis. Sepulang sekolah, kita biasa bermain basket, dan di akhir pekan kita akan pergi ke gereja bersama-sama,” kenangku.
“Dia sudah tak butuh kenangan seperti itu!”
“Kevin! Kumohon! Jangan seperti ini! Jangan kecewakan orang-orang di sekitarmu. Ibumu pasti akan sedih jika tahu kau...”
“Jangan pernah ikut campur urusan keluargaku!”

Aku terkejut ketika Kevin membentakku seperti itu. Kevin nampak marah. Begitu kecewa aku menyadari bahwa sahabatku sudah tak lagi seperti dulu. Air mataku mengalir karena kekecewaan yang Kevin buat.

“Kukira kita masih bersahabat...” ujarku pelan.
“Hentikan ucapanmu itu!” potong Kevin tegas.
“Hmm... Kurasa lebih baik kita segera pergi dari sini. Semakin lama, keadaannya semakin mengesalkan. Ah, persahabatan... Busuk! Dalam persahabatan seharusnya tak ada pengkhianatan! Tapi sebelum pergi, apa kau ingin memberikan hadiah terakhir untuk sahabatmu, Kevin?” ujar Mike dengan nada merendahkan.

Kevin menghampiriku. Ia mencondongkan tubuhnya, dan menatapku tajam. Di genggamannya adalah sebuah botol bir kosong. Kevin begitu dingin, tak ramah seperti Kevin Fong yang kukenal.

“Kevin...”
“Cukup, Lee,”
“Kumohon. Kau ini sahabatku,”
“Tak perlu lagi mengatakan hal-hal semacam itu,”
“Tapi...”
“Sampai jumpa, Lee,”

Dengan keras, Kevin menghantamkan botol bir kosong yang ia pegang ke kepalaku sampai botol itu pecah. Bisa kurasakan kepalaku berdarah hebat. Kesadaranku mulai berkurang dan pandanganku semakin kabur. Aku hanya bisa mendengar orang-orang itu pergi dengan tawa dan cemoohan mereka, dengan deruan motornya yang nyaring, dan kemudian keadaan kembali sunyi seperti awal. Aku menangis kesal dan marah. Aku kecewa dengan Kevin, sahabatku sejak dulu. Kenapa ia tega mengkhianatiku? Kalau benar ia sahabatku, kenapa Kevin bahkan tega membiarkanku dianiaya seperti tadi? Ia bahkan ikut memberiku hadiah hebat, sebuah hantaman botol bir di kepalaku. Rasanya tengkorakku seperti retak karena perbuatannya. Emosiku hampir mencapai batasnya, dan aku sadar bahwa aku tak bisa lagi mengharapkan Kevin untuk menyadari perbuatannya dan kembali menjadi Kevin Fong yang cerdas dan rajin, seperti dulu. Emosiku membuatku kuat untuk bangkit.

“Kalau memang kita tak bisa bersahabat lagi, baiklah, aku takkan mengharapkan untuk bersahabat lagi denganmu,”

Kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan pulangku, walaupun keadaanku yang bersimbah darah ini. Aku tak peduli lagi sekarang. Hari ini aku menyadari bahwa seorang sahabat bisa berubah menjadi seorang musuh, dan hal demikian memang benar adanya. Langkahku terseok-seok karena betisku yang cedera. Ah, sial! Bagaimana besok aku akan bekerja? Aku tak sanggup berjalan lebih jauh lagi. Apa aku berteriak meminta tolong saja? Tapi aku tak mau mengganggu siapapun yang tinggal di sekitar sini. Atau aku berguling saja di jalanan yang agak menurun ini? Bodoh! Tubuhku sudah babak belur begini masih mau berguling seperti lembu. Aku harus segera tiba di rumah, tapi kakiku sudah tak kuat lagi melangkah. Mataku menangkap titik cahaya dari kejauhan. Benda bercahaya itu bergerak mendekatiku dari arah yang berlawanan. Semakin lama semakin dekat, dan aku semakin bisa melihat bentuk benda tersebut. Sebuah taksi akan melintas. Segera aku melambaikan tanganku agar taksi itu berhenti.

“Taksi!”

Taksi itu berhenti di sampingku. Dan alangkah terkejutnya supir taksi itu ketika melihatku.

“Astaga! Kau ini! Kau...”
“Tidak! Aku bukan hantu!” potongku.
“Lalu, kau ini...”
“Amoy Street! Sekarang!”
“Tapi kau...”
“Sudah bawa saja!”

Aku langsung masuk ke dalam taksi dan berbaring di kursi belakang. Supir taksi itu terkejut dengan perbuatanku, tapi aku memang sudah tak kuat lagi. Tubuhku terasa sangat sakit.

“Pak, apa kita tidak sebaiknya pergi ke rumah sakit?” tanya supir taksi Cina berusia paruh baya tersebut.
“Tidak perlu. Tolong bawa aku ke Amoy Street. Aku ingin pulang saja,” jawabku.
“Tapi anda terluka hebat,”
“Tidak apa-apa. Bawa saja aku kesana,”

Supir taksi itu mempercepat laju mobil. Aku hanya bisa meringis, menahan rasa sakit di sekujur tubuhku. Orang-orang itu... Terkutuk mereka membuatku seperti ini. 

----

No comments:

Post a Comment

Post some comments, maybe a word two words or a long long paragraph :)