Translate This Page

Monday, November 26, 2012

Morning Attack

“Kenakan helm dengan benar, Timothy!”

Paman Richard menegur adikku. Kubetulkan helm yang dikenakan adikku. Nampaknya tali pengencangnya longgar sehingga dagunya tak bisa terlindungi oleh pelindung dagu. Sekali tarik tali pengencangnya dan... ya, kepala Timothy terlindungi sekarang.

“Paman, kami berangkat dulu,” ujarku.
“Hati-hati, Lee. Jangan mengebut!” pesan paman.

Kulaju motorku dengan kecepatan sedang. Keluar dari Amoy Street, kupacu motorku di jalan yang lebih besar. Pagi ini nampak lebih lengang dari biasanya. Tak banyak hiruk pikuk kendaraan roda empat yang biasa memenuhi jalan ini.

“Jalanan pagi ini sepi juga. Benar, ‘kan?” ujarku. Timothy menepuk pundakku.
“Ada apa?” tanyaku.

Aku melirik ke arah spion kanan. Adikku mengangkat jempolnya sebagai tanda setuju. Aku tertawa kecil melihat tingkah adikku.

“Ah, kau ini. Salah sendiri tak mau bicara, jadi sulit ‘kan berbincang-bincang seperti ini,”

Adikku memukul bagian belakang helmku. Pukulannya terasa ke kepalaku. Aku terkejut, tapi aku lantas tertawa karena aku tahu itu pasti balasan dari Timothy untuk perkataanku.

“Hahahaha! Cukup, Timmy. Jangan pukul lagi helmnya,”

Kulirik lagi spion kanan motor ini. Timothy nampak senang melihat-lihat suasana Singapura pagi ini. Langit pagi yang nampak mendung tetapi masih cerah, ditambah lagi suasana lalu lintas yang tak padat membuat perjalanan dari rumah menuju sekolah terasa cukup nyaman. Kusadari tangannya sedari tadi tak bisa diam memainkan ponselnya. Timothy bisa jatuh terjungkal jika sewaktu-waktu aku harus melakukan pengereman mendadak.

“Timmy, masukkan ponselmu ke saku jaketmu dan berpeganganlah,” ujarku, “Kau bisa jatuh terjungkal ketika aku melakukan pengereman mendadak jika kau tak berpegangan,”

Timothy nampak memasukkan ponselnya ke dalam saku jaketnya. Ah, ia rupanya patuh juga pada ucapanku, tapi tangannya tetap tak berpegangan pada sisi pegangan di jok belakang motor. Aish, anak ini...

“Timmy, kau bisa jatuh. Berpeganganlah atau betulkan posisi dudukmu. Atau, majulah sedikit ke dekatku dan pegang sisi pinggangku,” ujarku.

Timothy duduk lebih maju ke dekatku dan ia malah memegang perutku, bukan pinggangku. Kontan saja aku kaget dan kegelian.

“Timmy! Lepaskan! Maksudku genggam sisi badanku, tapi jangan benar-benar seperti memelukku. Genggam saja jaketnya atau genggam kedua saku jaketku di tiap sisinya,” jelasku.

Timothy terdengar tertawa kecil. Aku ikut tertawa juga mendengar tawanya. Ah, adikku ini. Nampaknya ia memang ingin bercanda denganku. Tapi, bercanda seperti itu ketika aku sedang menyetir bukanlah hal yang tepat. Bisa saja konsentrasiku pecah dan motor ini oleng karena aku merasa kegelian di bagian sisi perutku.

“Kapan-kapan kau kuajari cara mengendarai motor. Kau mau?” tanyaku.

Aku tak tahu jawaban Timothy apa karena aku tak melirik lagi spion kananku. Di hadapanku ada persimpangan dan lampu lalu lintas berubah menjadi merah. Beruntunglah aku mendapat barisan terdepan. Segera kuhentikan motorku dan menoleh ke belakang. Timothy tersenyum jahil padaku.

“Jangan lakukan hal itu lagi. Geli rasanya. Kau ingin kukelitiki juga nanti ketika kau sudah pulang, hah?” tegurku. Timothy tertawa.
“Tak mau. Lagipula tadi kau yang suruh aku memegang pinggangmu,” jawab Timothy.
“Pinggang, bukan perut. Lagipula kau malah memelukku dan selain geli, aku juga jadi sesak. Ikat pinggangku nampaknya terlalu kencang kuatur,”

Satu buah motor lalu ikut mengantri di belakang motor kami. Di sampingku ada sebuah mobil sedan berwarna merah mengkilat yang mengingatkanku dengan mobil yang serupa yang selalu diparkir di samping tembok belakang restoran tuan Edvard. Mobil yang bagus. Butuh berapa tahun kira-kira agar aku bisa membelinya sendiri? Sedang asyik melamun, helmku dipukul lagi dari belakang. Aku menoleh ke arah spion dan kulihat Timothy nampak pucat. Aku langsung menoleh ke belakang dan Timothy begitu ketakutan.

“Timmy? Ada apa?” tanyaku kaget.
“Lee, kau mencariku?”
“Steve?!”

Mobil merah di sampingku melaju, dan diikuti oleh Steve di belakangnya. Dan ketika ia melewati kami, sesuatu yang sangat cepat terjadi. Entah bagaimana tapi tiba-tiba terdengar pekikan Timothy dan kurasakan sebuah benda tajam dengan cepat menyayat betis kananku. Aku memekik kaget. Motor besar yang dikendarai Steve lalu melaju begitu saja dengan cepat. Rasa perih di betisku begitu membabi buta. Kupejamkan mataku menahan rasa sakit. Astaga, apa yang ia lakukan?

“Timmy, kau tak apa-apa?” tanyaku khawatir.

Aku lalu menoleh ke belakang untuk memeriksa keadaan adikku. Wajahnya nampak menahan sakit. Di belakangku mulai ada antrian kendaraan yang mulai mengklaksoniku. Segera kupacu motorku melewati persimpangan tersebut sambil dengan hati-hati mencari apotek terdekat.

“Timothy, jika kau melihat apotek segera beritahu aku,” ujarku.

Sambil terus menahan sakit, aku terus memacu motorku. Sial, Steve pasti tadi mengeluarkan benda tajam untuk dengan sengaja melukai kami. Entah apapun itu bendanya, kurasa luka di betisku cukup dalam. Atau bisa jadi ia dengan sengaja hendak benar-benar memutuskan betisku. Bajingan.

Koh,” bisik Timothy.
“Ya? Apa kau melihatnya?” tanyaku.

Tangan Timothy menunjuk ke sebuah apotek di sisi kiri jalan besar ini. Aku segera menepikan motorku dan memarkir motorku. Kumatikan mesin motor dan turun dari motor. Ah, sial! Sakit sekali rasanya ketika kaki kananku memijak jalan. Celana jeansku terkoyak di bagian betis dan di bagian yang sobek itu nampak basah oleh cairan berwarna merah gelap pekat. Aku mengangkat celana jeansku dan kulihat luka sayatan di betisku cukup dalam. Kupegang luka itu dan aku meringis keras karena rasa perih yang kurasa.

“Sialan. Bajingan itu,” umpatku.

Aku lalu memeriksa adikku. Luka yang sama didapat adikku di betis kanannya, hanya saja tak sedalam luka yang kudapat. Darahnya mengalir dari luka sayatan di betisnya, dan mengotori kaus kaki putihnya serta meninggalkan bercak di sepatu basketnya.

“Sangat sakitkah?” tanyaku. Timothy mengangguk.

Aku lalu membawa adikku masuk ke dalam apotek. Apoteker wanita yang bertugas disana terkejut melihatku dan Timothy yang berdarah di bagian betis. Tanpa pikir panjang ia langsung mencari apa yang kami butuhkan, lalu menghampiri kami dengan gulungan-gulungan perban dan obat antiseptik.

“Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya apoteker tersebut.
“Ceritanya sangat panjang. Sekarang, kumohon tolong kami. Bisakah ini semua selesai sebelum jam delapan? Kami bergegas menuju sekolah. Adikku tak boleh terlambat masuk sekolah,” tepisku.
“Ah, baiklah kalau begitu,”

Apoteker tersebut dengan gesit mengobati luka di betis Timothy. Timothy nampak kesakitan dan meringis ketika apoteker tersebut membalut betisnya dengan perban. Aku mengobati sendiri luka di betisku karena tak mau membuang-buang waktu lagi. Timothy tak boleh sampai terlambat ke sekolah. Aku tahu betisnya terluka, tapi bagaimanapun juga Timothy masih kuat untuk mengikuti pelajaran di sekolah. Ia tak boleh sampai bolos.

----

Tiba juga akhirnya kami setelah perjalanan yang memakan waktu lama karena insiden yang tak pernah kami harapkan itu. Kuparkir motorku di tempat parkir yang ada. Setelah turun dari motor, aku membantu Timothy turun dari motor dan kupapah ia sampai atrium sekolah.

Sudah, sampai disini saja,
“Kau yakin kau tak apa-apa?” tanyaku ragu. Timothy mengangguk.
“Tenang saja. Kelasku tak jauh. Kakak pulang saja. Aku akan baik-baik saja,”
“Tapi, kau masih terpincang-pincang. Aku khawatir jika lukanya memang dalam dan kau malah tak bisa berjalan,”
“Jangan khawatir, Koh. Aku akan baik-baik saja. Lagipula aku akan bertemu teman-temanku. Mereka akan menolongku,”

Aku menatap Timothy khawatir, tapi bagaimanapun juga aku harus melatihnya agar mandiri. Toh ia sendiri yang bilang bahwa ia akan baik-baik saja. Setelah pamit, Timothy berjalan terpincang-pincang masuk ke dalam sekolah. Dari jauh kupantau ia. Kulihat beberapa anak menghampirinya. Mereka menanyainya dengan banyak pertanyaan.

“Timothy, kau baik-baik saja?”
“Kakimu kenapa?”
“Lihat, ada noda darah di kaus kaki dan sepatumu!”
“Timothy, apa yang terjadi?”

Aku menghela nafas lega. Ah, syukurlah kalau begitu. Teman-teman Timothy begitu perhatian dan membantu Timothy berjalan. Kukira awalnya Timothy tak punya teman karena ia tak mau bicara, tapi nyatanya temannya cukup banyak. Aku tak seharusnya meragukannya seperti itu. Aku tak perlu terlalu mengkhawatirkan Timothy dan sekarang aku harus kembali pulang untuk bersiap-siap. Ya, aku harus pergi bekerja.

----

Sunday, November 25, 2012

Susan

It has been eight years and I hardly ever tell this story to my friends. I realize how I almost forgot her after years, and an assignment from my lecturer led to a rememberance of her. I didn't think that I would end up telling a story about her for my essay homework. The homework required me to write an essay about unsolved mystery occurred in the place where I live in. The mystery could be a murder, someone's disappearance, or natural phenomenon. At first I thought about a continuous theft occurred in my housing-complex but I realized that it would not be so mysterious, so I thought about something elsel; an unsolved case I know, or case whereby I was involved, I witnessed, or I know. I ended up remembering her, thus led me to a rememberance of that sad story. 

I have lived in Kuningan for several years before eventually moved to Bandung (again). I moved (back) to Bandung in 2006, so I finished my elementary school in Kuningan. There I found friends with different characters and traits. I was the member of A class, from the first year to the sixth year, and the members remained the same so I met same people with same faces and traits for six years. Unlike the other students, I always had different point of view about something. When the other boys played soccer during breaktime, I stayed in my class drawing pictures or chatting with other friends. There were other differences that my friends and I had, which (well I don't know exactly anyway) might led me to the object of bullying. Yes, I was bullied by my friends lots of time even though I was not always the victim of bullying. I sometimes joined the bullier team to bully another kid. And I think I start going out of line so let's stop talking about bullying or something. 

I had many friends in the class. One of them was a girl named Susan. She was nice and taller than me. She had many friends even though she was kind of quiet person. She was quite smart. She once ranked Top 10 in class. And despite of being a girl, she was such a strong-minded girl. She rarely cried and she could yell at boys and make them scared when they annoyed her. We had never been close before until everything changed a lot when I became the fifth grader. I started making more friends and getting closer to those whom I had not been close to before. I was close to a Chinese girl named Pevi and became best friend with her. Pevi was very close to Susan and I eventually became best friend with Susan, too. We often spent our time going to arcade or visiting our friends' house. We shared many things and we helped each other. Susan was like a sister for me, as well as Pevi. She always knew when I was sad and she would cheer me up. And it was kinda hard for me to cheer her up because she used to look cheerful almost everyday. When she was sad, she tended not to show it, or if she had to she would not let me see it. She would ask me to go out of the class while she started crying, or shooed me to go away so I could not see her crying. Grading up to the sixth grade was a cool thing for me as an elementary school, but it was also a sad thing because I realized that I would be apart from my friends, especially Susan whom I considered as my elder sister. After the final examination, the school planned a tour which could be only joined by sixth graders only. I thought it would be great because that might be the last moment we, my friends and I could feel the togetherness before eventually walked on different path and reached different star. 

To shorten the story, the tour was great. We visited a hot spring and enjoyed our time there. The one-day tour was great enough to spend my time with beloved friends. We went home at 3p.m. and arrived at our school in the evening. I was picked up to home, together with my neighboring friends. Susan's home was not far from the school that she could walk home by herself. I enjoyed my night remembering what my friends and I had done in the hot spring. Swimming in hot spring, having lunch together, chatting and singing in the bus, I was so excited. I was so happy that I could not sleep at night. 

But the happiness did not last long. My smile perished away on the following day, Sunday, when my friends knocked on my door hastily. I quickly opened the door for them and I saw them crying. One of my friends nervously told me that Susan has passed away. I was shocked, fell in silent. They then asked me to contact our teachers since I owned their numbers to inform them about Susan's death. Panicly I got my phone and started calling my teachers to inform them. My friends were still crying in my parlor. Finished calling my teachers, I went back to parlor to meet my friends. I asked them what exactly happened but they seemed to be unsure about what they knew. Later on, I knew that Susan was found dead this morning, hanging on a tree in a small yard. It hurt my feelings to realize that she committed suicide. How could a strong girl like her commit suicide? She has been a strong and cheerful girl, and I thought it was impossible for her to commit suicide. I bursted into tears, breaking inside. Leaning on the wall, I sobbed and asked God why this should happen. 

On the following Monday, black clouds shroudded the atmosphere. Tears flowed and flooded classes. Black ribbons were on the chest. We cried her a river. Everybody was shocked by the fact that Susan would be no longer with us. Her memories lingered in our mind as we dropped more tears. Losing beloved persons is a sad thing, and you can imagine how it happens to elementary school students like me in that time. We were not strong enough to face such truth. My neighbors started asking me about her and it bothered me that I eventually got depressed by the questions. My mom wanted to know Susan so I showed her a picture of Susan taken from my birthday photo album, and I eventually bursted into tears while hugging the photograph. Things worsened when police and forensic team did responsibility to handle the case of her death came up with a new speculation that Susan's death was unnatural. A witness said that Susan committed suicide, but the findings found by police and forensic team led to a hypothesis of a murder. The bruises on her body and other similar factors strengthened the speculation. I could not stand watching the news and hearing other speculation about it. Her death has already made my feelings hurt, so I begged for anything not to make it worse. 

I attended her funeral with my friends. I have cried a lot before so I think I was strong enough to attend her funeral. I succeeded holding back my tears when she came in her coffin. Some teachers and students' parents were there, too. I took a deep breath to help me calm myself down. My friends already bursted into tears and I myself struggled not to cry. Susan is a strong girl, right? She hates to see her friends sad, right? Then I must not cry to show her that I'm strong to face this bitter truth. But I am a person, too, anyway. As I walked home, tears flowed on my cheek. I avoided walking to the crowd so people would not see me cry. It needed several weeks for me to really move on from the sadness. Now I think I have cried a lot that it's all in, even though sometimes I drop a tear remembering her or visiting her in my memory. 

Now I am eight years older and Susan must have been sleeping for eight years, too. I wonder if she still takes care of me from somewhere over the rainbow. I hardly ever tell anyone about her, because I know that it would just scratch my scar that would make me hurt again. But now, you know that there was a girl named Susan who once appeared in my life. Her appearance was not just a minor character in this drama. She taught me how to smile when I am down. She taught me how to fight back those who harrass me. She taught me a lot of things and I have learnt a lot of things from a girl named Susan, who was my classmate and was taller than me. 

And now, you know that the writer of this note slowly bursts into tears as he finishes her note with three words: 

I miss her

Saturday, November 24, 2012

And my sky is crying again

It must have been her,
my sky who screamed furiously in that freezing day
and ended up bursting into tears.
I jumped from my bed, leaving
my cozy quilt, stepping on cold herringbone parquette
walking to the window,
just to see my sobbing sky.

And she was up there, crying a river.
She had never been like this.
I did not see the smile
drawn on her face
by thin sheets of cirrus, like I used to see
in sunny summer day.

So I asked her,

"Why are you crying, my dear?"

She answered no words and
nothing spoke but her tears.
I could read nothing in her eyes
but monstrous flash
that led to a thunderous tantrum
echoing in my mind.

So I serenaded her,

"Carve a smile, and wipe your tears.
Because sorrow would fly away,
and leave you a rainbow,"

But my sky kept crying and
nothing could not stop her.
Probably black clouds frightened her,
or mister sun refused to shine,
or morning dews forgot to welcome her,
and suddenly my sky said,

"Mother earth is dying.
Seeing her suffers hurts me.
Her pains remain scars,
that would hardly ever vanish,"

So my sky showed me
the crying children of Gaza losing their parents,
the silent screams from big cities,
the macabre bombing haunting little babies,
the twin brothers of the land of the morning calm fighting,
and the sinking pristine beaches.

Mother earth is dying
and the death of her is unknown.
Nothing spoke but my sky's tears
that told about agony and misery.

Then there was my sky,
still crying and whispering
a silent lamentation in the middle of the rain.
I wondered if mister sun
listened to my sky's story, dimmed his light
and wore a black ribbon.

And it must have been me,
who knew the story of my sobbing sky, fell in silent
and ended up bursting into tears.

Wednesday, November 14, 2012

Technika: Takes a Hiatus

Alright, so... Yeah, I have not played Technika for about two weeks, and I am going to continue taking a hiatus until I finish all my tasks and mid-tests. The decision of taking hiatus is not something I'd like to be sorry for. Yes, I decide it and I am not sad with my own decision. Actually there are some factors which led to the decision and one of the factors is my daily college activities. I might continue taking the hiatus for longer period, and I might really stop playing Technika at all (even though that is not the decision I would like to make).

So, hereby I, DJ Klaus, state that I'm taking a hiatus for an unpredictable period. I might play once, but that's only for creating crew race course. This is the official message from me. Thank you.

Blood and tears

“Sudah tiba,”

Aku menatap ke arah gedung apartemen Tiffany. Gedung setinggi dua puluh lima lantai itu nampak menjulang tinggi, menerangi langit hitam dengan cahaya lampu di setiap lantainya.

“Akhirnya tiba juga. Perjalanan pulang tadi terasa lama,” ujarku.
“Ya, begitulah. Dan kau... Apa kau ingin menginap? Sudah malam, dan aku takut kau malah tak bisa masuk ke rumah,” tawar Tiffany.
“Tidak, terima kasih. Kau harus beristirahat. Jika aku menginap di tempatmu, kau takkan bisa tidur karena aku akan mendengkur,”
“Ah, kau takkan mendengkur. Kau kan masih polos,”
“Ah, lagi-lagi kau menyebutku polos. Hmm... Baiklah, kurasa kau lebih baik segera naik ke apartemenmu. Di luar dingin dan kau bisa sakit,”
“Lalu kau sendiri?”
“Aku akan berjalan sampai stasiun MRT,”
“Apa kau yakin? Atau, bagaimana kalau kau naik taksi saja?”
“Entahlah. Lihat saja nanti,”
“Tapi entah kenapa aku khawatir denganmu. Sudahlah, kau menginap saja semalam,”
“Tak perlu. Aku hanya akan merepotkanmu,”
“Tentu saja tidak! Kau kan akan sudah bersedia membantuku untuk mengurus tempat konser anak-anak. Lantas, kenapa aku tak bisa membantumu?”
“Tapi aku memang tak bisa. Aku harus bekerja besok. Lagipula, kasihan adikku pasti menunggu di rumah,”

Tiffany menghela nafas panjang. Ia lalu menggosok-gosokkan kedua tangannya.

“Sudah, kau lebih baik masuk ke apartemenmu sekarang. Kau pasti kedinginan,” ujarku.
“Kurasa begitu. Baiklah kalau kau memang harus pulang. Hati-hati di jalan, Lee. Kalau ada apa-apa beritahu aku, dan...”
“Dan apa?”
“Terima kasih untuk malam ini,”

Aku tersenyum padanya. Tiffany lalu berbalik dan pergi masuk ke gedung apartemennya. Aku mengawasinya sampai ia benar-benar masuk ke dalam lift. Setelah yakin bahwa ia akan aman, aku pun bergegas pulang. Ah, stasiun MRT terdekat dari sini jaraknya cukup jauh. Aku harus berlari nampaknya agar bisa sampai lebih cepat.

“Malam ini dingin juga rupanya,” gumamku.

Aku berjalan di trotoar sambil mencoba menghibur diriku sendiri yang kedinginan. Ya, aneh sekali malam ini begitu dingin. Padahal biasanya, malam-malam di Singapura terasa panas. Atau setidaknya, malam-malam tak pernah sedingin ini. Sedang berusaha menembus dinginnya malam, aku mendengar suara berderu dari arah belakang. Tumben sekali ada truk atau bus yang lewat ke jalan ini. Biasanya, hanya mobil-mobil pribadi yang melalui jalan ini. Maklum saja, ini area perumahan dan sebenarnya memang mobil-mobil besar, bus, atau truk tak bisa menggunakan jalan ini dengan bebas. Semakin lama suara menderu itu semakin nyaring terdengar, dan yang membuatku terkejut adalah ketika kudengar suara klakson yang cukup nyaring. Aku berbalik dan beberapa orang menghentikan motornya di sampingku. Ada beberapa orang dengan pakaian serba hitam menghampiriku. Beberapa dari mereka membawa tongkat pemukul baseball dan botol bir. Di antara orang-orang itu, ada dua orang yang kukenal. Kevin, sahabatku sejak sekolah dasar dan... Mike, lagi?

“Kau butuh tumpangan?” tawar Mike.
“Mau apa lagi kau?” tanyaku kesal.
“Aku hanya menawarimu tumpangan. Toh sedari tadi kau pergi dengan kendaraan umum saja. Pasti kau tak punya uang untuk membeli motor atau mobil,”
“Memang apa urusanmu?”
“Huh, anak bodoh.. Kalau kau ingin berpacaran, lebih baik punya kendaraan. Ayolah, jangan membuatmu tampak konyol di depan Tiffany,”
“Kau mengikutiku dari tadi?!”

Mike langsung menghampiriku dan mencengkram leherku kuat. Ia lalu mendorongku ke pagar dan mengangkatku cukup tinggi sehingga membuatku tak bisa bernafas.

“Le, lepaskan!” aku meronta.
“Mau sampai kapan kau kabur seperti ini, hah?! Kau lupa bahwa kau masih ada urusan dengan kami?” tanya Mike sinis.
“Urusan apa lagi?! Kalian sudah cukup membuat hidupku dan hidup teman-temanku hancur! Mau apa lagi?!”
“Kau pikir pengkhianatan bisa dimaafkan semudah itu, hah?! Jangan bodoh! Kau tak lihat apa yang anak-anak ini bawa?”
“Aku tak takut!”
“Cih, dasar gelandangan! Anak-anak, habisi saja dia!”

Mike melemparku ke trotoar, dan belum siap aku dengan kuda-kudaku, orang-orang itu sudah menyerangku. Kontan saja aku sulit menyerang balik. Satu orang melawan empat orang. Tangan kosong melawan tangan bersenjata. Bagaimana aku bisa menang? Aku lantas lebih banyak melindungi diriku sendiri, menangkis serangan mereka semampuku. Perut, dada, betis, dan kepalaku jadi sasaran mereka. Jemariku terasa sangat sakit karena terkena hantaman tongkat baseball ketika aku melindungi bagian belakang kepalaku. Aku mencoba menendang beberapa dari mereka di bagian perut dan dada. Dalam keadaan seperti ini, kemampuan Taekwondo-ku memang harus kugunakan. Tapi sehebat apapun kemampuan Taekwondo-ku, jika diserang oleh banyak orang seperti ini tetap saja aku kalah. Aku pun semakin melemah, sementara mereka terus saja membabi buta. Klimaksnya, kepala dan punggungku terkena hantaman tongkat baseball dan aku langsung terkapar. Sambil menahan sakit, aku berusaha untuk bangkit, tapi tak bisa. Mike menghampiriku dan memijakkan kakinya di kepalaku.

“Kuberi kau dua pilihan, kembali bersama kami atau kau akan terus mengalami mimpi buruk semacam ini,” ujarnya.
“Aku... Aku tak...”
“Jawab sekarang!!”

Mike malah menjejakkan kakinya lebih keras. Aku mengerang kesakitan.

“Jawab sekarang!”
“Aku... aku tak mau bergabung bersama kalian lagi!”

Mike mengangkat kakinya dari kepalaku, dan menendang punggungku. Aku sudah tak mampu untuk berteriak meminta tolong. Hanya eranganku yang terdengar oleh orang-orang di sekitarku saja.

“Lee, bahkan sahabatmu sendiri tak ingin sepertimu! Sahabatmu tak ingin menjadi pengkhianat! Ia memilih tetap bersama kami daripada harus menjadi pengkhianat sepertimu!” bentak Mike.
“Kalian yang menghasut Kevin!” tepisku.

Dengan pandangan yang buram, kutatap Kevin. Kevin hanya bisa menatapku dalam bisu. Ia melihatku dengan tatapan dingin.

“Kevin, kau tahu kita bersahabat sejak dulu. Aku percaya padamu. Mereka pasti menghasutmu!” ujarku.
“Kau yang berkhianat,” ujar Kevin dingin.
“Apa?”
“Kau yang berkhianat. Aku tahu itu,”

Aku terkejut mendengar ucapan Kevin. Kenapa, kenapa ia, sahabatku tak menolongku? Bahkan ketika aku dipukuli pun ia hanya menonton saja, melihatku babak belur dan terkapar bersimbah darah.

“Nah, kau dengar itu, Lee? Sahabatmu sudah tak mau lagi percaya padamu!” Mike memanas-manasi keadaan.
“Aku tak peduli! Kevin, kita masih bersahabat, ‘kan? Kau ingat ketika kita masih bersekolah dulu, kau selalu memintaku menolongmu mengajari matematika. Kau akan marah jika aku tak menemanimu. Ketika aku tak sengaja meninggalkanmu di kelas musik, kau menangis. Sepulang sekolah, kita biasa bermain basket, dan di akhir pekan kita akan pergi ke gereja bersama-sama,” kenangku.
“Dia sudah tak butuh kenangan seperti itu!”
“Kevin! Kumohon! Jangan seperti ini! Jangan kecewakan orang-orang di sekitarmu. Ibumu pasti akan sedih jika tahu kau...”
“Jangan pernah ikut campur urusan keluargaku!”

Aku terkejut ketika Kevin membentakku seperti itu. Kevin nampak marah. Begitu kecewa aku menyadari bahwa sahabatku sudah tak lagi seperti dulu. Air mataku mengalir karena kekecewaan yang Kevin buat.

“Kukira kita masih bersahabat...” ujarku pelan.
“Hentikan ucapanmu itu!” potong Kevin tegas.
“Hmm... Kurasa lebih baik kita segera pergi dari sini. Semakin lama, keadaannya semakin mengesalkan. Ah, persahabatan... Busuk! Dalam persahabatan seharusnya tak ada pengkhianatan! Tapi sebelum pergi, apa kau ingin memberikan hadiah terakhir untuk sahabatmu, Kevin?” ujar Mike dengan nada merendahkan.

Kevin menghampiriku. Ia mencondongkan tubuhnya, dan menatapku tajam. Di genggamannya adalah sebuah botol bir kosong. Kevin begitu dingin, tak ramah seperti Kevin Fong yang kukenal.

“Kevin...”
“Cukup, Lee,”
“Kumohon. Kau ini sahabatku,”
“Tak perlu lagi mengatakan hal-hal semacam itu,”
“Tapi...”
“Sampai jumpa, Lee,”

Dengan keras, Kevin menghantamkan botol bir kosong yang ia pegang ke kepalaku sampai botol itu pecah. Bisa kurasakan kepalaku berdarah hebat. Kesadaranku mulai berkurang dan pandanganku semakin kabur. Aku hanya bisa mendengar orang-orang itu pergi dengan tawa dan cemoohan mereka, dengan deruan motornya yang nyaring, dan kemudian keadaan kembali sunyi seperti awal. Aku menangis kesal dan marah. Aku kecewa dengan Kevin, sahabatku sejak dulu. Kenapa ia tega mengkhianatiku? Kalau benar ia sahabatku, kenapa Kevin bahkan tega membiarkanku dianiaya seperti tadi? Ia bahkan ikut memberiku hadiah hebat, sebuah hantaman botol bir di kepalaku. Rasanya tengkorakku seperti retak karena perbuatannya. Emosiku hampir mencapai batasnya, dan aku sadar bahwa aku tak bisa lagi mengharapkan Kevin untuk menyadari perbuatannya dan kembali menjadi Kevin Fong yang cerdas dan rajin, seperti dulu. Emosiku membuatku kuat untuk bangkit.

“Kalau memang kita tak bisa bersahabat lagi, baiklah, aku takkan mengharapkan untuk bersahabat lagi denganmu,”

Kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan pulangku, walaupun keadaanku yang bersimbah darah ini. Aku tak peduli lagi sekarang. Hari ini aku menyadari bahwa seorang sahabat bisa berubah menjadi seorang musuh, dan hal demikian memang benar adanya. Langkahku terseok-seok karena betisku yang cedera. Ah, sial! Bagaimana besok aku akan bekerja? Aku tak sanggup berjalan lebih jauh lagi. Apa aku berteriak meminta tolong saja? Tapi aku tak mau mengganggu siapapun yang tinggal di sekitar sini. Atau aku berguling saja di jalanan yang agak menurun ini? Bodoh! Tubuhku sudah babak belur begini masih mau berguling seperti lembu. Aku harus segera tiba di rumah, tapi kakiku sudah tak kuat lagi melangkah. Mataku menangkap titik cahaya dari kejauhan. Benda bercahaya itu bergerak mendekatiku dari arah yang berlawanan. Semakin lama semakin dekat, dan aku semakin bisa melihat bentuk benda tersebut. Sebuah taksi akan melintas. Segera aku melambaikan tanganku agar taksi itu berhenti.

“Taksi!”

Taksi itu berhenti di sampingku. Dan alangkah terkejutnya supir taksi itu ketika melihatku.

“Astaga! Kau ini! Kau...”
“Tidak! Aku bukan hantu!” potongku.
“Lalu, kau ini...”
“Amoy Street! Sekarang!”
“Tapi kau...”
“Sudah bawa saja!”

Aku langsung masuk ke dalam taksi dan berbaring di kursi belakang. Supir taksi itu terkejut dengan perbuatanku, tapi aku memang sudah tak kuat lagi. Tubuhku terasa sangat sakit.

“Pak, apa kita tidak sebaiknya pergi ke rumah sakit?” tanya supir taksi Cina berusia paruh baya tersebut.
“Tidak perlu. Tolong bawa aku ke Amoy Street. Aku ingin pulang saja,” jawabku.
“Tapi anda terluka hebat,”
“Tidak apa-apa. Bawa saja aku kesana,”

Supir taksi itu mempercepat laju mobil. Aku hanya bisa meringis, menahan rasa sakit di sekujur tubuhku. Orang-orang itu... Terkutuk mereka membuatku seperti ini. 

----