Translate This Page

Friday, December 28, 2012

Why

Tak seperti biasanya, hari ini restoran padat oleh para pengunjung. Kebanyakan dari mereka adalah turis-turis asing yang datang untuk berlibur di Singapura. Station penuh dengan bahan-bahan masakan. Para koki senior begitu sibuk dan serius mengolah bahan makanan menjadi masakan khas peranakan yang lezat. Rajiv pun dengan giat membuat teh tarik untuk para pelanggan.

“Lee, bisa kau bawakan pesanan ini ke meja nomor sepuluh?” ujar Razaq.
“Ah, baiklah,”

Aku membawa nampan berisi pesanan makanan ke meja nomor sepuluh. Pengunjung di meja nomor sepuluh bukanlah turis asing. Mereka warga keturunan Tionghoa sepertiku.

“Nasi ayam saus tiram untuk dua orang,” ujarku.
“Ah, akhirnya pesanan kami datang. Terima kasih, nak,”

Aku menaruh piring-piring pesanan di atas meja. Pengunjung meja nomor sepuluh nampak senang, terlebih ketika aku memberikan mereka teh herbal gratis. Kurasa mereka akan kembali lagi kesini.

“Ya, terima kasih. Silahkan datang kembali,”

Aku melirik sumber suara tersebut. Suara yang tak asing lagi bagiku. Luna, ia baru saja menyapa sekelompok pengunjung yang telah selesai makan. Ia segera membereskan meja yang telah digunakan lalu kembali ke dapur. Aku segera mengejarnya ke dapur. Kutarik tangannya dan kutahan ia sebentar.

“Hey, kau tak apa-apa?” tanyaku. Luna dengan kasar melepaskan pegangan tanganku.
“Aku tak apa-apa,” jawabnya dingin.

Luna kembali membawa pesanan berikutnya untuk para pengunjung. Ia mengacuhkanku dan ini tak biasanya terjadi. Aneh sekali. Luna biasanya senang jika aku bekerja bersama dengannya. Ia bahkan biasa mengejekku ketika kami bekerja. Kali ini tidak. Ia tak mengejekku. Ia tak nampak senang ketika aku berbicara dengannya.

Aku jadi semakin tak mengerti dengan Luna. Setiap aku berpapasan dengannya membawa pesanan untuk pengunjung, ia tak pernah tersenyum padaku. Ketika aku memanggilnya dan memintanya membawakan sesuatu untuk pelanggan, ia hanya mengangguk. Ia tak pernah memanggilku untuk meminta bantuan, semisal membawakan sesuatu atau menanyakan apakah pesanan pengunjung telah siap atau belum. Aku jadi tak enak hati pada Luna. Apa aku telah melakukan hal yang salah padanya sampai ia marah padaku? Kulihat Luna sedang membereskan meja nomor sembilan belas. Aku menghampirinya dan berniat membantunya membawakan piring-piring dan gelas kotor.

“Biar kubantu,” ujarku.
“Tak usah. Biar aku saja,” tolaknya.
“Tidak. Kau kewalahan. Biar kubantu,” aku bersikeras.
“Aku mampu melakukan ini sendirian,”
“Tapi kau tak akan kuat membawa beban sebanyak itu. Bagaimana jika piringnya pecah?”
“Kalau piring ini pecah, yang akan mendapat teguran ‘kan aku, bukan kau!”

Aku terkejut karena Luna membentakku, walaupun volume suaranya tak keras.

“Kenapa kau membentakku?”
“Kau tak suka?”
“Bukan begitu. Aku hanya merasa bahwa kau aneh hari ini,”
“Aneh? Hah, perasaanmu saja,”
“Tidak. Ini bukan sebatas perasaanku. Ada apa denganmu? Kenapa kau jadi tak ramah padaku dan Rei?”
“Sudahlah, Lee. Kembalilah bekerja,”
“Tapi Luna, kau 'kan sahabatku. Kenapa aku tak boleh tahu?”
“Bukan urusanmu. Hanya karena kau sahabatku, jadi kau pikir kau boleh mengetahui segala hal tentangku?”
“Bukan begitu maksudku,”
“Pergilah. Aku tak mau diganggu,”

Aku terkejut ketika Luna berkata seperti itu. Apa aku salah mendengar? Luna, ia tak mau kuganggu? Aku semakin yakin ada yang tak beres dengannya. Luna pasti marah padaku, dan aku tak tahu apa sebabnya. Aku jadi semakin tak enak hati. Aku mencoba mendekatinya, berharap aku masih bisa diberikan kesempatan olehnya untuk berbicara sebentar saja. Tapi kurasa Luna telah berubah. Setiap kali aku mencoba mendekatinya, ia pergi. Selau seperti itu. Ia menghindariku.

Tetapi kenapa ia menghindariku?

----

Jam kerja telah selesai. Waktunya kami para karyawan pulang.

“Luna, Rei bilang bahwa ia ingin pergi denganmu setelah restoran tutup,” ujar Razaq sembari menggantung seragam kerjanya.
“Aku tak ingin pergi kemanapun setelah pulang bekerja. Aku ingin pulang,” jawab Luna.
“Tapi ia akan datang menjemputmu,”
“Suruh saja ia pulang,”

Aku menghela nafas pelan. Terdengar suara deru motor dari luar. Ah, Rei pasti sudah tiba dan akan mengajak Luna pergi malam ini.

“Lihat, Rei sudah tiba. Ia pasti ingin mengajakmu makan malam,” ujar Rajiv.
“Ah, tahu apa kau tentang makan malam?” balas Luna sinis.
“Hey, kurasa Rei memang akan mengajakmu pergi makan malam,” jelas Rajiv.
“Aku tak lapar,”

Luna mengenakan jaketnya lalu mengambil tasnya di dalam loker. Ia mengunci lokernya lalu segera meninggalkan dapur. Sebelum ia pergi, aku berlari mengejarnya dan menahannya ketika ia tiba di ambang pintu.

“Luna, kumohon jangan pergi. Aku ingin tahu ada apa denganmu,” aku memohon.
“Lepaskan aku, Lee,” Luna menarik tangannya.
“Kau ini kenapa? Kau tak bersikap ramah padaku, padahal biasanya kau selalu riang bahkan memarahiku. Kali ini kau memarahiku, tapi bukan karena kau gemas atau kesal. Kau memarahiku karena kau...”
“Karena aku muak denganmu,”

Aku terkejut. Muak? Luna muak denganku?

“Tapi kenapa?”
“Aku tak perlu menjelaskan alasannya, Lee,”
“Kau tak bisa seperti ini! Kita bersahabat dan...”
“Hentikan omong kosongmu, Lee,”

Aku merasa terpukul. Perasaanku sakit. Apa yang kudengar tadi adalah nyata? Luna tak mungkin berkata hal seperti itu pada sahabat-sahabatnya, termasuk aku. Tapi kenapa sekarang ia mengatakan hal itu padaku? Apakah aku masih sahabatnya?

“Luna, kenapa kau mengatakan hal itu padaku?”
“Karena...”
“Karena apa? Tolong beritahu aku jika aku melakukan kesalahan padamu,”
“Kau hampir melompat dari Esplanade Bridge, ‘kan?”
“Ta, tapi...”
“Kenapa kau tak melompat saja?”
“Apa?”
“Kenapa kau tak melompat? Melompatlah. Melompat dari jembatan itu,”
“Apa kau marah karena aku sempat berfikir untuk mengakhiri hidupku?”
“Tidak. Aku tak marah. Kau tak sadar aku memintamu untuk melompat?”
“Apa? Kau... Kau ingin aku... Mati?”

Luna terdiam. Ia lalu menghela nafas.

“Lee, cukup. Aku tak mau melihatmu lagi,”

Luna berlari keluar meninggalkanku yang berdiri kaku dengan hatiku yang terasa sangat sakit. Ia bahkan melewati Rei dan meninggalkannya begitu saja. Rei menatapku, mengangguk padaku, lalu memacu motornya untuk mengejar Luna yang telah berlari lebih dulu. Rajiv dan Razaq menghampiriku. Mereka merangkulku dan menepuk pundakku.

“Lee, sabarlah,” Rajiv menghiburku.
“Aku tahu ini pasti sulit untukmu,” sambung Razaq.
“Tapi mengenai ucapan Luna tadi, apa itu benar?” tanya Rajiv.

Aku terdiam, lalu mengangguk pelan.

“Ya, itu benar. Aku sempat terfikir untuk melompat,” ujarku.

Rajiv dan Razaq nampak sangat terkejut. Mereka nampak kecewa, namun mereka langsung merangkulku.

“Lee, kenapa kau berfikir seperti itu?” tanya Razaq khawatir.
“Kau tahu, karena perbuatanmu kau bisa dipenjara!” sambung Rajiv.
“Sudahlah, kawan-kawan. Aku tak mau mengingat hal itu lagi. Aku tahu saat itu aku sedang tak punya pilihan jadi aku berfikir untuk menghabisi hidupku saja,” jelasku.
“Jangan bodoh! Kau masih punya kami!” tegas Rajiv.
“Jangan pernah kau terfikir untuk mengakhiri hidupmu, Lee,” tambah Razaq.

Aku mengangguk pelan. Aku tak mengira bahwa Luna akan mengetahui tentang hal itu, rencana bunuh diriku. Terlebih, aku tak mengira bahwa Luna akan bersikap seperti ini. Ia berubah sangat drastis. Mungkin hampir seratus delapan puluh derajat dari sikapnya dulu. Perasaanku sakit ketika berkata bahwa ia lebih menginginkan aku untuk melompat. Apa salahku padanya? Selama ini aku mencoba bersikap baik padanya, dan bahkan seharusnya aku yang marah padanya untuk setiap omelan, larangan, atau pukulan yang ia layangkan padaku, walaupun hanya bercanda.

Luna, ada apa denganmu sebenarnya?

Sunday, December 23, 2012

Hmm

Let us take a deep breath and imagine for a while. Imagine a happy family, consisting of a father, a mother, and children. You may create a depiction of a happy family as a family that is having a nice picnic in a green grassy backyard, or a family that is gathering in a living-room and the smiles on the faces of each family members. Some of you might not think about another family, but yours. You may have such family I ask you to imagine. You have a happy family and that's all. You're happy to be in your family.

Now, have you ever wished to be someone else?


Probably, yeah you know, someone else better than you. Someone who is more beautiful or handsome than you, who is more famous than you, who is richer than you, who has everything you want that you don't, or whatnot. And you might think that it's so questionable, that why I ask you such things.


I live with my parents and two siblings of mine. Most people think that my life is wonderful. I could have something that I want. I have parents who both work as lecturer in university. I study in university where my parents teach in. I could ask for money to my parents when I really need it and I would get it sooner. I live a happy life. That's what I've heard. But I bet that those people only made a perception. Some people say (but I don't) snakes are beautiful. You say they're beautiful because you see how they look from the outside. But when you learn more about them, you might know that they are deadly. You see what I mean?


Yes. Look closer, learn more, understand deeper, and you will see that what is seen is not always what it is exactly. My life is actually not as happy as you might say. Money, gadgets, stuffs, apparels--if those things are the reason of why you may think that my life is happy, then I suggest you getting to know more about me. My stepbrother have complained several times about himself. He feels sorry for being him, I mean in other words, he wants to be someone else. Why? Dude, you're lucky being yourself! And now I think I have to bitch-slap myself that I sometimes want to be someone else, too.


A couple weeks ago, I scrolled my Twitter timeline and found a tweet from my seonbae, saying that she envies those who live in their houses, not in a boarding house, that they could see and meet their parents everyday. If I may speak, you'd better stop envying because being at home is not always nice. Yes, it is not always nice being at home. Sometimes you go to campus, meet your friends, and feel happy. And as soon as you're home, you feel like you're in a war-zone or at least, feel like you're in the middle of Schwarzwald and freeze to death. I have to confess it, my relationship with my father is not really good, or at least, not as good as you may see from the outside. What happens at home is simply different to what happens when we're not at home. To be honest, the arrival of daddy coming home from work is not something special for me. I want to cry thinking about this. It's so ironic when my friends say that they're happy for the arrival of their parents coming to see them, and I feel like, "Well, I've never been like that at home,". They have great parents, so do I. But the way their parents treat them is somehow... I don't know. I envy them.


I never really want to have a small chit-chat with my father because I know he is busy. He works until late night, dealing with those papers, analysis results, business phone calls and whatnot. I don't think that he even understands me. The way he talks is sometimes irritating and it's not the first time that, yes, it's been a couple times I really am over his patronizing tone. He sometimes asks me to do something that I do believe, he can do that by himself, but he don't want to. I'm eighteen-fifteen alike and I'm busy with my shitty assignments and suddenly my dad comes up with a bunch of translation requests or something, and pushes me to work on it before the deadline, and yeah, I have to stay awake and I can't survive. I've collapsed before. It hurts me and I wonder why dad is being like that to me. Does he love me? Does he even think about me? Yes I know that, I know dad loves me. I know dad thinks about me. But what happens everyday at home, and it makes me feel like I'm in between of a deadly valley and an erupting volcano. Where do I have to go? And mom. My mom is somehow more understanding than my father. But she's busy, too. Well I don't know how to explain about her but, yeah, the story is somehow alike and I feel like I want to be someone else, live in another better, richer, nicer family. I want to be the youngest son, having one elder brother and one elder sister. But that's impossible.


Now what do I have to do? I cannot become someone else. I have to be me, myself, Klaus. But being me, that's not as easy as you might think. Those things cannot help me. Money, you may think that money can buy happiness, but that's just a bullshit. One day you'll find that money can make you become so fed up. I sometimes don't need the money, I need the love. And sometimes I want them to understand that I need this and I need that, but they don't want to listen to me. What am I? A statue? Or even nothing? My thoughts are never known, and my words are never heard. Does this thing happen in a good family? Okay, I sometimes feel happy being in this family. But there are times that I feel burdened, and I come to the point of crying. You know, Klaus at campus is simply different to Klaus at home. You don't believe that? You may ask me to prove it.


So you, who always feel sorry for being yourself and ask God to be someone else, please think twice. This life is a grace. Cherish it and you might find points that lead you to the feeling of gratitude for this grace. We cannot become someone else. Trust me, there's always something that you have, and others don't, and you have to be thankful for that.

Sunday, December 2, 2012

Don't Go

Tiba di rumah, perlahan kubuka pintu menuju garasi di samping toko paman Richard. Lampu garasi masih menyala. Pasti tadi paman buru-buru pergi ke rumah sakit. Aku berbalik dan kulihat Rei berdiri menatapku bingung.

“Lee, kau tak apa-apa?” tanyanya. Aku mengangguk pelan.
“Masuklah. Aku akan segera mengunci pintunya,” jawabku.

Rei masuk, lalu segera kukunci pintu. Kami lalu menaiki tangga untuk masuk ke rumah. Kulihat ruang keluarga nampak berantakan. Ada pecahan cangkir kopi di lantai, dengan koran yang halamannya berserakan di atas meja kopi. Kurasa paman sedang membaca koran ketika mendengar berita itu dan ia panik, sehingga ia tak sengaja menjatuhkan cangkir kopinya. Di asbak ada dua puntung rokok yang telah menghitam. Jam besar di sudut ruangan menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Seandainya aku bisa memutar ulang waktu, tapi itu pasti tak akan mungkin.

“Lee, kau beristirahatlah. Segera naik ke kamarmu. Biar aku yang membereskan kekacauan disini,” ujar Rei.
“Tapi...”
“Sudahlah, tenang saja. Nanti aku akan tidur di ruang keluarga di lantai dua sambil menonton televisi. Kau naik ke kamarmu saja. Hmm... Nampaknya paman Richard yang menjatuhkan cangkir kopinya. Sayang sekali padahal cangkirnya bagus,” potong Rei.

Aku menggeleng pelan.

“Tidak. Biar aku saja yang membereskan,”
“Kau harus beristirahat. Lee, kau nampak lelah dan terpukul. Aku tahu bagaimana perasaanmu. Apa yang kau rasakan sama seperti ketika aku kehilangan ayahku. Mungkin bedanya, Timothy berhasil diselamatkan sementara ayahku... Ya, kau tahu ayahku sekarang sedang tidur di pangkuan Tuhan. Berlarut-larut dalam kesedihan seperti ini hanya akan membuatmu semakin sakit. Kau harus beristirahat. Kau mengerti?”

Aku mengangguk pelan lalu pergi ke kamarku di lantai dua. Tiba di kamarku, segera kututup pintu kamarku, kukunci, dan kusandarkan tubuhku ke pintu kamarku. Air mataku meleleh lagi. Lututku lemas. Perlahan aku menjatuhkan tubuhku dan duduk bersandar di pintu. Rasanya sakit sekali mengetahui orang yang kusayangi, adikku, sekarang terbaring lemah di rumah sakit. Kondisinya yang sangat kritis membuatku dibayang-bayangi ketakutan antara hidup dan matinya. Aku tahu Timothy anak yang kuat, tapi bagaimanapun ia tetap adik kecilku. Bagaimana jika ia tak kuat menahan sakit itu? Bagaimana jika ia menyerah? Atau, bagaimana jika ia sudah terlanjur membenciku dan lebih memilih untuk bersama ibu dan ayah daripada kembali bersamaku? Berapa lama aku akan kuat hidup tanpa orang-orang yang kusayangi? Berapa banyak lagi orang-orang yang harus kulihat pergi dengan mata kepalaku sendiri? Masih bisakah aku tegar ketika akhirnya aku yang harus menebar abu jenazah adikku di laut?

Di bawah tempat tidur, kulihat sebuah boks berwarna hitam. Aku merangkak ke dekat tempat tidur dan tanganku merogoh boks tersebut. Rupanya itu adalah boks sepatu basket Timothy. Boks itu kosong, hanya ada secarik kertas yang sudah kumal. Aku membentangkan kertas tersebut dan membaca tulisannya.

“Jangan beritahu Lee tentang sepatu ini. Dia memang menyebalkan. - Paman Richard,”

Aku tersenyum sendiri membaca tulisan tersebut. Kumasukkan kembali kertas itu ke dalam boks sepatu Timothy dan kumasukkan lagi boks tersebut ke bawah tempat tidur. Aku terdiam sejenak. Kurasa selama ini aku sudah begitu egois dan keras kepala. Keegoisan dan kekeraskepalaanku membuat Timothy akhirnya menjadi korbannya. Aku hanya tak ingin memberatkan siapapun, tetapi mungkin caraku salah selama ini. Aku menghela nafas dan mulai menyesali apa yang selama ini kulakukan. Seandainya aku tak seperti itu sejak dulu, tetapi semua sudah terlanjur terjadi. Timothy pasti selama ini memendam rasa kesal padaku.

Tanganku mencengkram erat tempat tidurku dan aku berusaha bangun. Kulihat sekeliling kamarku. Meja belajar Timothy nampak berantakan. Lampu belajarnya masih menyala, menerangi daerah sekitarnya. Aku berjalan menuju meja belajarnya. Kulihat buku tugas Timothy berada di atas meja belajarnya. Kubuka halaman demi halaman buku tugasnya. Timothy anak yang rajin. Nilai-nilainya tak pernah buruk. Di salah satu tugas matematikanya, ia mendapat nilai delapan puluh enam. Kulihat hasil pekerjaannya. Terdapat beberapa nomor soal yang ditandai salah. Aku tersenyum sambil terisak melihat jawaban-jawaban yang salah itu.

“Bodoh. Sinus dari dua ratus tujuh puluh saja tak tahu. Seharusnya minus satu,”

Kututup buku tugasnya dan kutaruh kembali di atas meja belajarnya. Di atas meja belajarnya juga terdapat beberapa lembar uang yang tadi ia berikan dan kaus Nike berwarna biru laut tua yang sempat menjadi bahan pertengkaran kami tadi sore. Tanganku gemetaran mengambil kaus tersebut. Kuremas kaus tersebut dan aku semakin terisak. Kutengadahkan kepalaku agar air mataku tak turun, tapi itu tak berhasil.

“Timothy...”

Tangisku meledak lagi. Aku jatuh berlutut. Di atas meja belajarnya, aku terisak hebat. Tanganku terus memeluk kaus milik Timothy itu. Berulang kali aku memanggilnya, dan semakin aku takut kehilangan adikku. Aku pasti nampak sangat menyedihkan sekarang. Aku menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainannya. Tapi adikku bukanlah sebuah mainan. Ia adalah seorang yang sangat aku sayangi, jadi perasaan kehilangan itu pasti akan jauh lebih menusuk. Memoriku memutar ulang kejadian tadi sore dan juga memutar semua momen-momen indah yang aku dan adikku lakukan. Bermain piano bersama sambil bernyanyi, berolahraga pagi, bermain basket, menikmati es krim potong di taman bersama, menghabiskan ramen, berjalan-jalan, bersama paman merayakan ulangtahunnya yang ke-empat belas, sungguh demi apapun aku tak ingin kehilangan adikku. Aku akan lakukan apapun asalkan adikku mau memaafkanku. Aku akan lakukan apapun untuk membuat Timothy kembali tersenyum, bahkan agar ia bisa kembali bicara seperti dulu. Aku akan lakukan apapun asalkan adikku masih bisa hidup. Aku tak ingin ia pergi. Aku tak ingin kehilangan adikku. Sungguh, aku tak ingin itu terjadi.

“Timothy... Jangan pergi,”

----

Monday, November 26, 2012

Morning Attack

“Kenakan helm dengan benar, Timothy!”

Paman Richard menegur adikku. Kubetulkan helm yang dikenakan adikku. Nampaknya tali pengencangnya longgar sehingga dagunya tak bisa terlindungi oleh pelindung dagu. Sekali tarik tali pengencangnya dan... ya, kepala Timothy terlindungi sekarang.

“Paman, kami berangkat dulu,” ujarku.
“Hati-hati, Lee. Jangan mengebut!” pesan paman.

Kulaju motorku dengan kecepatan sedang. Keluar dari Amoy Street, kupacu motorku di jalan yang lebih besar. Pagi ini nampak lebih lengang dari biasanya. Tak banyak hiruk pikuk kendaraan roda empat yang biasa memenuhi jalan ini.

“Jalanan pagi ini sepi juga. Benar, ‘kan?” ujarku. Timothy menepuk pundakku.
“Ada apa?” tanyaku.

Aku melirik ke arah spion kanan. Adikku mengangkat jempolnya sebagai tanda setuju. Aku tertawa kecil melihat tingkah adikku.

“Ah, kau ini. Salah sendiri tak mau bicara, jadi sulit ‘kan berbincang-bincang seperti ini,”

Adikku memukul bagian belakang helmku. Pukulannya terasa ke kepalaku. Aku terkejut, tapi aku lantas tertawa karena aku tahu itu pasti balasan dari Timothy untuk perkataanku.

“Hahahaha! Cukup, Timmy. Jangan pukul lagi helmnya,”

Kulirik lagi spion kanan motor ini. Timothy nampak senang melihat-lihat suasana Singapura pagi ini. Langit pagi yang nampak mendung tetapi masih cerah, ditambah lagi suasana lalu lintas yang tak padat membuat perjalanan dari rumah menuju sekolah terasa cukup nyaman. Kusadari tangannya sedari tadi tak bisa diam memainkan ponselnya. Timothy bisa jatuh terjungkal jika sewaktu-waktu aku harus melakukan pengereman mendadak.

“Timmy, masukkan ponselmu ke saku jaketmu dan berpeganganlah,” ujarku, “Kau bisa jatuh terjungkal ketika aku melakukan pengereman mendadak jika kau tak berpegangan,”

Timothy nampak memasukkan ponselnya ke dalam saku jaketnya. Ah, ia rupanya patuh juga pada ucapanku, tapi tangannya tetap tak berpegangan pada sisi pegangan di jok belakang motor. Aish, anak ini...

“Timmy, kau bisa jatuh. Berpeganganlah atau betulkan posisi dudukmu. Atau, majulah sedikit ke dekatku dan pegang sisi pinggangku,” ujarku.

Timothy duduk lebih maju ke dekatku dan ia malah memegang perutku, bukan pinggangku. Kontan saja aku kaget dan kegelian.

“Timmy! Lepaskan! Maksudku genggam sisi badanku, tapi jangan benar-benar seperti memelukku. Genggam saja jaketnya atau genggam kedua saku jaketku di tiap sisinya,” jelasku.

Timothy terdengar tertawa kecil. Aku ikut tertawa juga mendengar tawanya. Ah, adikku ini. Nampaknya ia memang ingin bercanda denganku. Tapi, bercanda seperti itu ketika aku sedang menyetir bukanlah hal yang tepat. Bisa saja konsentrasiku pecah dan motor ini oleng karena aku merasa kegelian di bagian sisi perutku.

“Kapan-kapan kau kuajari cara mengendarai motor. Kau mau?” tanyaku.

Aku tak tahu jawaban Timothy apa karena aku tak melirik lagi spion kananku. Di hadapanku ada persimpangan dan lampu lalu lintas berubah menjadi merah. Beruntunglah aku mendapat barisan terdepan. Segera kuhentikan motorku dan menoleh ke belakang. Timothy tersenyum jahil padaku.

“Jangan lakukan hal itu lagi. Geli rasanya. Kau ingin kukelitiki juga nanti ketika kau sudah pulang, hah?” tegurku. Timothy tertawa.
“Tak mau. Lagipula tadi kau yang suruh aku memegang pinggangmu,” jawab Timothy.
“Pinggang, bukan perut. Lagipula kau malah memelukku dan selain geli, aku juga jadi sesak. Ikat pinggangku nampaknya terlalu kencang kuatur,”

Satu buah motor lalu ikut mengantri di belakang motor kami. Di sampingku ada sebuah mobil sedan berwarna merah mengkilat yang mengingatkanku dengan mobil yang serupa yang selalu diparkir di samping tembok belakang restoran tuan Edvard. Mobil yang bagus. Butuh berapa tahun kira-kira agar aku bisa membelinya sendiri? Sedang asyik melamun, helmku dipukul lagi dari belakang. Aku menoleh ke arah spion dan kulihat Timothy nampak pucat. Aku langsung menoleh ke belakang dan Timothy begitu ketakutan.

“Timmy? Ada apa?” tanyaku kaget.
“Lee, kau mencariku?”
“Steve?!”

Mobil merah di sampingku melaju, dan diikuti oleh Steve di belakangnya. Dan ketika ia melewati kami, sesuatu yang sangat cepat terjadi. Entah bagaimana tapi tiba-tiba terdengar pekikan Timothy dan kurasakan sebuah benda tajam dengan cepat menyayat betis kananku. Aku memekik kaget. Motor besar yang dikendarai Steve lalu melaju begitu saja dengan cepat. Rasa perih di betisku begitu membabi buta. Kupejamkan mataku menahan rasa sakit. Astaga, apa yang ia lakukan?

“Timmy, kau tak apa-apa?” tanyaku khawatir.

Aku lalu menoleh ke belakang untuk memeriksa keadaan adikku. Wajahnya nampak menahan sakit. Di belakangku mulai ada antrian kendaraan yang mulai mengklaksoniku. Segera kupacu motorku melewati persimpangan tersebut sambil dengan hati-hati mencari apotek terdekat.

“Timothy, jika kau melihat apotek segera beritahu aku,” ujarku.

Sambil terus menahan sakit, aku terus memacu motorku. Sial, Steve pasti tadi mengeluarkan benda tajam untuk dengan sengaja melukai kami. Entah apapun itu bendanya, kurasa luka di betisku cukup dalam. Atau bisa jadi ia dengan sengaja hendak benar-benar memutuskan betisku. Bajingan.

Koh,” bisik Timothy.
“Ya? Apa kau melihatnya?” tanyaku.

Tangan Timothy menunjuk ke sebuah apotek di sisi kiri jalan besar ini. Aku segera menepikan motorku dan memarkir motorku. Kumatikan mesin motor dan turun dari motor. Ah, sial! Sakit sekali rasanya ketika kaki kananku memijak jalan. Celana jeansku terkoyak di bagian betis dan di bagian yang sobek itu nampak basah oleh cairan berwarna merah gelap pekat. Aku mengangkat celana jeansku dan kulihat luka sayatan di betisku cukup dalam. Kupegang luka itu dan aku meringis keras karena rasa perih yang kurasa.

“Sialan. Bajingan itu,” umpatku.

Aku lalu memeriksa adikku. Luka yang sama didapat adikku di betis kanannya, hanya saja tak sedalam luka yang kudapat. Darahnya mengalir dari luka sayatan di betisnya, dan mengotori kaus kaki putihnya serta meninggalkan bercak di sepatu basketnya.

“Sangat sakitkah?” tanyaku. Timothy mengangguk.

Aku lalu membawa adikku masuk ke dalam apotek. Apoteker wanita yang bertugas disana terkejut melihatku dan Timothy yang berdarah di bagian betis. Tanpa pikir panjang ia langsung mencari apa yang kami butuhkan, lalu menghampiri kami dengan gulungan-gulungan perban dan obat antiseptik.

“Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya apoteker tersebut.
“Ceritanya sangat panjang. Sekarang, kumohon tolong kami. Bisakah ini semua selesai sebelum jam delapan? Kami bergegas menuju sekolah. Adikku tak boleh terlambat masuk sekolah,” tepisku.
“Ah, baiklah kalau begitu,”

Apoteker tersebut dengan gesit mengobati luka di betis Timothy. Timothy nampak kesakitan dan meringis ketika apoteker tersebut membalut betisnya dengan perban. Aku mengobati sendiri luka di betisku karena tak mau membuang-buang waktu lagi. Timothy tak boleh sampai terlambat ke sekolah. Aku tahu betisnya terluka, tapi bagaimanapun juga Timothy masih kuat untuk mengikuti pelajaran di sekolah. Ia tak boleh sampai bolos.

----

Tiba juga akhirnya kami setelah perjalanan yang memakan waktu lama karena insiden yang tak pernah kami harapkan itu. Kuparkir motorku di tempat parkir yang ada. Setelah turun dari motor, aku membantu Timothy turun dari motor dan kupapah ia sampai atrium sekolah.

Sudah, sampai disini saja,
“Kau yakin kau tak apa-apa?” tanyaku ragu. Timothy mengangguk.
“Tenang saja. Kelasku tak jauh. Kakak pulang saja. Aku akan baik-baik saja,”
“Tapi, kau masih terpincang-pincang. Aku khawatir jika lukanya memang dalam dan kau malah tak bisa berjalan,”
“Jangan khawatir, Koh. Aku akan baik-baik saja. Lagipula aku akan bertemu teman-temanku. Mereka akan menolongku,”

Aku menatap Timothy khawatir, tapi bagaimanapun juga aku harus melatihnya agar mandiri. Toh ia sendiri yang bilang bahwa ia akan baik-baik saja. Setelah pamit, Timothy berjalan terpincang-pincang masuk ke dalam sekolah. Dari jauh kupantau ia. Kulihat beberapa anak menghampirinya. Mereka menanyainya dengan banyak pertanyaan.

“Timothy, kau baik-baik saja?”
“Kakimu kenapa?”
“Lihat, ada noda darah di kaus kaki dan sepatumu!”
“Timothy, apa yang terjadi?”

Aku menghela nafas lega. Ah, syukurlah kalau begitu. Teman-teman Timothy begitu perhatian dan membantu Timothy berjalan. Kukira awalnya Timothy tak punya teman karena ia tak mau bicara, tapi nyatanya temannya cukup banyak. Aku tak seharusnya meragukannya seperti itu. Aku tak perlu terlalu mengkhawatirkan Timothy dan sekarang aku harus kembali pulang untuk bersiap-siap. Ya, aku harus pergi bekerja.

----

Sunday, November 25, 2012

Susan

It has been eight years and I hardly ever tell this story to my friends. I realize how I almost forgot her after years, and an assignment from my lecturer led to a rememberance of her. I didn't think that I would end up telling a story about her for my essay homework. The homework required me to write an essay about unsolved mystery occurred in the place where I live in. The mystery could be a murder, someone's disappearance, or natural phenomenon. At first I thought about a continuous theft occurred in my housing-complex but I realized that it would not be so mysterious, so I thought about something elsel; an unsolved case I know, or case whereby I was involved, I witnessed, or I know. I ended up remembering her, thus led me to a rememberance of that sad story. 

I have lived in Kuningan for several years before eventually moved to Bandung (again). I moved (back) to Bandung in 2006, so I finished my elementary school in Kuningan. There I found friends with different characters and traits. I was the member of A class, from the first year to the sixth year, and the members remained the same so I met same people with same faces and traits for six years. Unlike the other students, I always had different point of view about something. When the other boys played soccer during breaktime, I stayed in my class drawing pictures or chatting with other friends. There were other differences that my friends and I had, which (well I don't know exactly anyway) might led me to the object of bullying. Yes, I was bullied by my friends lots of time even though I was not always the victim of bullying. I sometimes joined the bullier team to bully another kid. And I think I start going out of line so let's stop talking about bullying or something. 

I had many friends in the class. One of them was a girl named Susan. She was nice and taller than me. She had many friends even though she was kind of quiet person. She was quite smart. She once ranked Top 10 in class. And despite of being a girl, she was such a strong-minded girl. She rarely cried and she could yell at boys and make them scared when they annoyed her. We had never been close before until everything changed a lot when I became the fifth grader. I started making more friends and getting closer to those whom I had not been close to before. I was close to a Chinese girl named Pevi and became best friend with her. Pevi was very close to Susan and I eventually became best friend with Susan, too. We often spent our time going to arcade or visiting our friends' house. We shared many things and we helped each other. Susan was like a sister for me, as well as Pevi. She always knew when I was sad and she would cheer me up. And it was kinda hard for me to cheer her up because she used to look cheerful almost everyday. When she was sad, she tended not to show it, or if she had to she would not let me see it. She would ask me to go out of the class while she started crying, or shooed me to go away so I could not see her crying. Grading up to the sixth grade was a cool thing for me as an elementary school, but it was also a sad thing because I realized that I would be apart from my friends, especially Susan whom I considered as my elder sister. After the final examination, the school planned a tour which could be only joined by sixth graders only. I thought it would be great because that might be the last moment we, my friends and I could feel the togetherness before eventually walked on different path and reached different star. 

To shorten the story, the tour was great. We visited a hot spring and enjoyed our time there. The one-day tour was great enough to spend my time with beloved friends. We went home at 3p.m. and arrived at our school in the evening. I was picked up to home, together with my neighboring friends. Susan's home was not far from the school that she could walk home by herself. I enjoyed my night remembering what my friends and I had done in the hot spring. Swimming in hot spring, having lunch together, chatting and singing in the bus, I was so excited. I was so happy that I could not sleep at night. 

But the happiness did not last long. My smile perished away on the following day, Sunday, when my friends knocked on my door hastily. I quickly opened the door for them and I saw them crying. One of my friends nervously told me that Susan has passed away. I was shocked, fell in silent. They then asked me to contact our teachers since I owned their numbers to inform them about Susan's death. Panicly I got my phone and started calling my teachers to inform them. My friends were still crying in my parlor. Finished calling my teachers, I went back to parlor to meet my friends. I asked them what exactly happened but they seemed to be unsure about what they knew. Later on, I knew that Susan was found dead this morning, hanging on a tree in a small yard. It hurt my feelings to realize that she committed suicide. How could a strong girl like her commit suicide? She has been a strong and cheerful girl, and I thought it was impossible for her to commit suicide. I bursted into tears, breaking inside. Leaning on the wall, I sobbed and asked God why this should happen. 

On the following Monday, black clouds shroudded the atmosphere. Tears flowed and flooded classes. Black ribbons were on the chest. We cried her a river. Everybody was shocked by the fact that Susan would be no longer with us. Her memories lingered in our mind as we dropped more tears. Losing beloved persons is a sad thing, and you can imagine how it happens to elementary school students like me in that time. We were not strong enough to face such truth. My neighbors started asking me about her and it bothered me that I eventually got depressed by the questions. My mom wanted to know Susan so I showed her a picture of Susan taken from my birthday photo album, and I eventually bursted into tears while hugging the photograph. Things worsened when police and forensic team did responsibility to handle the case of her death came up with a new speculation that Susan's death was unnatural. A witness said that Susan committed suicide, but the findings found by police and forensic team led to a hypothesis of a murder. The bruises on her body and other similar factors strengthened the speculation. I could not stand watching the news and hearing other speculation about it. Her death has already made my feelings hurt, so I begged for anything not to make it worse. 

I attended her funeral with my friends. I have cried a lot before so I think I was strong enough to attend her funeral. I succeeded holding back my tears when she came in her coffin. Some teachers and students' parents were there, too. I took a deep breath to help me calm myself down. My friends already bursted into tears and I myself struggled not to cry. Susan is a strong girl, right? She hates to see her friends sad, right? Then I must not cry to show her that I'm strong to face this bitter truth. But I am a person, too, anyway. As I walked home, tears flowed on my cheek. I avoided walking to the crowd so people would not see me cry. It needed several weeks for me to really move on from the sadness. Now I think I have cried a lot that it's all in, even though sometimes I drop a tear remembering her or visiting her in my memory. 

Now I am eight years older and Susan must have been sleeping for eight years, too. I wonder if she still takes care of me from somewhere over the rainbow. I hardly ever tell anyone about her, because I know that it would just scratch my scar that would make me hurt again. But now, you know that there was a girl named Susan who once appeared in my life. Her appearance was not just a minor character in this drama. She taught me how to smile when I am down. She taught me how to fight back those who harrass me. She taught me a lot of things and I have learnt a lot of things from a girl named Susan, who was my classmate and was taller than me. 

And now, you know that the writer of this note slowly bursts into tears as he finishes her note with three words: 

I miss her

Saturday, November 24, 2012

And my sky is crying again

It must have been her,
my sky who screamed furiously in that freezing day
and ended up bursting into tears.
I jumped from my bed, leaving
my cozy quilt, stepping on cold herringbone parquette
walking to the window,
just to see my sobbing sky.

And she was up there, crying a river.
She had never been like this.
I did not see the smile
drawn on her face
by thin sheets of cirrus, like I used to see
in sunny summer day.

So I asked her,

"Why are you crying, my dear?"

She answered no words and
nothing spoke but her tears.
I could read nothing in her eyes
but monstrous flash
that led to a thunderous tantrum
echoing in my mind.

So I serenaded her,

"Carve a smile, and wipe your tears.
Because sorrow would fly away,
and leave you a rainbow,"

But my sky kept crying and
nothing could not stop her.
Probably black clouds frightened her,
or mister sun refused to shine,
or morning dews forgot to welcome her,
and suddenly my sky said,

"Mother earth is dying.
Seeing her suffers hurts me.
Her pains remain scars,
that would hardly ever vanish,"

So my sky showed me
the crying children of Gaza losing their parents,
the silent screams from big cities,
the macabre bombing haunting little babies,
the twin brothers of the land of the morning calm fighting,
and the sinking pristine beaches.

Mother earth is dying
and the death of her is unknown.
Nothing spoke but my sky's tears
that told about agony and misery.

Then there was my sky,
still crying and whispering
a silent lamentation in the middle of the rain.
I wondered if mister sun
listened to my sky's story, dimmed his light
and wore a black ribbon.

And it must have been me,
who knew the story of my sobbing sky, fell in silent
and ended up bursting into tears.