Translate This Page

Monday, June 7, 2010

Tenggelam dan Hilang

Matahari semakin condong ke arah barat, dengan sudut istimewanya menciptakan efek spektakular di permukaan air laut yang berkilauan. Bayangan tubuhku di lantai kayu terlihat memanjang, seolah aku bertambah tinggi. Penipuan alami yang mengagumkan. Aku tak pernah membayangkan diriku setinggi itu, jika tinggi bayangan dan tinggi diriku dalam kenyataan adalah sama. Suara mesin yang terdengar cukup berisik walaupun aku berada jauh diatas mesin tersebut, namun menyisakan raungan dari asap tebal berwarna hitam yang dihubungkan dari mesin diesel di dek terbawah menuju pipa-pipa pembuangan dan berakhir dengan kepulan bak pukulan tinju dari cerobong asap. Ya, aku berada di atas mesin ini. Mesin yang tak lain hanya diselubungi cat berwarna putih dengan segala kemewahan yang ada di atasnya. Mesin yang mengantarkan orang dengan puluhan, ratusan, bahkan ribuan harapan di tempat tujuannya. Mesin yang menjadi kebanggaan dan ketakutan tersendiri bagi mereka yang fobia air. Aku tahu, sewaktu-waktu mesin ini bisa menidurkan dirinya di laut dalam sana dan akhirnya mereka yang fobia akhir bisa mati karena ketakutannya.

Aku berdiri disini. Sore ini angin laut bertiup agak kencang. Kurasa aku harus segera menyisir rambutku sesampainya di kabin. Agak dingin, dan sesekali air laut mengenai pipiku. Membayangkan usaha butiran-butiran air laut itu melawan gravitasi hingga akhirnya dapat mencapai pipiku, yang berada di ketinggian sekitar 4 atau 5 lantai dari permukaan laut. Usaha yang menakjubkan. Ditanganku, sebuah kotak musik tua tengah memainkan tonalisasi Für Elise yang sebentar lagi akan selesai. Kotak musik tua itu terlihat usang, namun begitu berkesan dan menyimpan sangat banyak kenangan. Bukan, terlalu banyak. Sehingga tak sanggup untuk kututup. Kayunya mulai longgar. Setitik cahaya dapat menembus celah diantara kayu yang longgar, memperlihatkanku cara pemukul-pemukul kecil secara mekanik memukul bilah-bilah besi kecil, mengeluarkan suara yang merdu. Sesekali aku harus memutar tuasnya lagi. Klasik dan sangat manual. Lagu itu membawaku kepada ingatanku beberapa waktu yang lalu. Kenangan yang tidak seharusnya aku ingat. Kenangan indah yang menyedihkan. Ironis.

Beberapa awak kapal melihatku dengan pandangan curiga. Tepat, aku tak seharusnya berada di dek sendirian. Sempat kudengar peraturan bahwa anak-anak dilarang berpergian ke beberapa titik rawan sendirian, termasuk dek haluan ini. Entah apa yang berbahaya tapi aku tidak melihat banyak bahaya disini. Ya mungkin akan lain ceritanya jika aku disini untuk meloncat turun ke laut. Dan sialnya dengan postur tubuhku yang kecil, kurasa mereka akan mengira bahwa aku seharusnya dititipkan di tempat penitipan anak-anak selama para orangtua menghadiri perjamuan makan malam. Tapi aku disini, di dek haluan ini, sesekali menginjak lantai kayu kapal yang berbunyi cukup keras setiap kuhentakkan kakikku. Mencoba menghapusnya. Ingatan itu, luka itu, semuanya. Kenangan indah yang mengorek lukaku begitu dalam. Semakin kutarik tuasnya, semakin lukaku terkorek dengan keras. Aku tak bisa menghentikannya. Terlalu indah untuk dihentikan, namun aku pun tak bisa tinggal dalam kesakitan ini. Meringis perlahan ketika angin laut terasa begitu dingin, dan begitu lincah menembus jaket jeans berwarna hitam, dan lagi-lagi menyelinap melewati pori-pori kecil di sweat-shirt berwarna kuning bertuliskan 'Lois', kemudian melewati kaus lengan panjangku bahkan dengan sempurnanya menusuk tulangku. Dingin. Ya, dingin. Lukaku semakin terasa sakit. Mataku terhalang rambutku, sepintas terlihat seperti emo karena poninya yang menutupi mata sisi kananku. Angin laut sore ini benar-benar mengubah diriku. Gaya rambutku bisa berubah secara alami setiap kali ia menabrak setiap helai rambutku.

 "Sudah, Klaus.."
Aku sudah jauh tenggelam dalam rintihan lagu dari kotak musik itu.
 "Klaus.. Sudah selesai. Bangun."
Kurasa kali ini aku sedang terduduk, tidak lagi berdiri. Kurasakan punggungku bersandar pada sesuatu. Ya, ini pinggiran dek. Aku memang sedang terduduk lemas. Mataku tertutup, dan sesekali terdengar aku meringis pelan. Seperti ketika jarimu teriris pisau, perih seperti itulah yang terasa. Namun ini lebih daripada teriris pisau atau tertusuk jarum ketika menjahit.
 "Klaus! Dewasalah!!"
Prak!! Dia menutup kotak musiknya. Lagu itu berhenti, dan sekarang aku benar-benar terbangun.
 "Kakak?"
 "Dewasa!! Kamu ngga bisa kaya gini terus!!"

Kakak mengambil kotak musik itu dari tanganku dan aku benar-benar terkejut. Kalian harus melihat ekspresi wajahku ketika kotak kayu mungil itu terlepas dari genggamanku. Bukan seperti seseorang yang bodoh ketika dia menyadari bahwa dia membakar dompetnya sendiri, tapi lebih terlihat seperti seseorang yang seolah-olah menemui ajal di depannya. Ditengah-tengah ketakutan dan keterkejutan.
 "Balikin ka!!"
 "Ngga!! Ga akan kakak kembaliin kotak ini!!"
 "Kembaliin kak, itu punya adek!!"
 "Kotak ini cuma bikin kamu gila! Bangun dan sadar, kamu ga bisa kaya gini terus!! Kamu ga dewasa tau ga!!"
 "Please kak.. Hhkk.. Kembaliin kotak musik adek.. Hhkkk.."

Aku mulai menangis. Perlahan aku sadar, aku memang masih kecil. Itu sebabnya awak kapal itu memandangku curiga. Aku memang masih kecil.

 "Berhenti nangis."
 "Hhhkk..."
 "Ga usah sesegukan terus. Kamu ngga akan bisa mengubah semuanya yang udah terjadi. Itu takdirnya."
 "Kakak emang jahat. Ga punya hati.."
 "Kenapa? Kenapa kamu bilang kakak jahat?"
 "Karena kakak ngambil kotak itu dari tangan adek. Kakak salahkan ade kalo ade kaya gini. Kakak ga pernah ngerasain rasanya jadi adek.. Hkk.."
 "Sekarang kamu ngelukai diri kamu sendiri dengan kamu kaya gini. Kamu juga bikin cukup banyak orang khawatir karena kesedihan kamu yang secara ekstrim bikin orang lain bener-bener iba sama kamu. Mereka terus ngulurin tangan buat bantu kamu tapi kamu sendiri ga mau nerima tangan mereka! Kamu tau kamu terluka, tapi kamu malahan bikin luka kamu makin parah! Sekarang siapa yang lebih jahat?!"
 "Kakak!! Kakak jahat sama adek!"
 "Dan kamu sendiri jahat sama diri kamu sendiri! Apa itu ngga tolol?!! Kamu emang tolol dek!!"

Air mataku terhenti tiba-tiba. Tangan kiriku menerima impuls improptu sehingga secara spontan meraih dan mencengkram keras kerah baju kakakku. Kepalan tanganku sudah hampir mengenai wajahnya. Aku meringis, kemudian sedikit berteriak. Berteriak kesal dan marah. Puncak ledakannya ada di 5 jari tanganku yang kukepalkan erat-erat sepenuh tenaga.
 "Apa?!! Hajar aja hajar!! Kakak ngga takut dipukul ato dihajar sama orang tolol yang ngancurin dirinya sendiri dan nyalahin dirinya karena kesalahan yang bukan dia lakukan! Kakak bahkan ngerasa lucu kalo dihajar sama orang tolol yang masih mengharapkan sesuatu yang udah rusak bakal kembali lagi!! Sesuatu yang udah mati buat hidup lagi!!"
Cengkramanku semakin keras. Dua bocah cina ini terperangkap dalam perang dingin yang sebentar lagi berubah menjadi adu jotos. Tapi perlahan cengkramanku melemah, tangan kananku terjatuh tiba-tiba. Aku merasa diriku sangat lemas, seperti menggendong sebuah grand piano besar. Dan lagi, butiran air menetes dari mataku.

Aku berhasil berdiri, melihat ke arah lautan lepas. Degradasi warna di langit yang membuatku tercengang. Terima kasih Tuhan, aku masih sempat melihat kebesaranMu selagi aku dalam kesedihan ini. Sedikit menyamakan dengan film Titanic, dimana Rose muda yang cantik mencoba terbang. Namun sayangnya, kami tak terlihat seperti pasangan mesra tersebut di bagian paling depan haluan. Kami hanyalah kakak adik, menghadap ke sisi kanan kapal, tepat dimana saat kapal menabrak gunung es itu.
 "Kenapa harus gini ka.."
 "Kakak tau itu bukan yang kamu inginkan. Tapi dengan kamu memaksakan terus kaya gitu, kamu nyakitin diri kamu sendiri. Kepergiannya justru membuat kamu bisa bernafas kan? Kakak tau beban yang kamu angkut waktu dulu. Dan kakak juga tau banyak kenangan yang udah kamu buat kan? Kotak musik ini salah satu saksinya kan? Saksi bisu kenangan-kenangan kalian?"
 "Adek terlalu sayang sama dia kak.. Ade ngebiarin diri adek sendiri sakit."
 "Pengorbanan kamu terlalu besar. Kamu rela tersakiti, karena cinta kamu terlalu murni."
 "Sekarang semuanya udah selesai kak."
 "Yah, kalian sudah di jalan kalian masing-masing. Dek, kamu tau ga apa dia sekarang lagi mikirin kamu ato ngga? Kamu yakin dia mikirin kamu? Kamu masih yakin bahwa dia masih sayang sama kamu? Kamu belajar ngga dari pengalaman-pengalaman sebelumnya? Kesalahan-kesalahan yang dia buat, apa ngga jadi bukti buat kamu?"
 "Adek sakit kak digituin, tapi ade sendiri.."
 "Ya karena cinta ade terlalu murni buat dia. Sekarang itu udah selesai dek. Kakak ngga mau kamu terus-terusan luka kaya gini. Dek, hidup kamu masih panjang ke depan. Kakak masih pengen ngeliat kamu bahagia sama seseorang yang bisa lebih baik nanti. You should haven't been frustated like this. Your life must go on, no matter how hard it is. Kenangan itu ngga akan ilang dek karena seburuk apapun kenangan tapi ingatan kita senantiasa menyimpan kenangan-kenangan itu di memorinya. Dan kamu akan terus membuat kenangan-kenangan yang lain, yang baru, yang senantiasa bakalan ngewarnai hidup kamu. Kamu sudah cukup terkekang dengan semuanya dek. Kamu butuh kebebasan tapi kamu tetap di luka yang sama yang semakin membusuk. Waktunya kamu bangkit, pergi dan buang luka itu, lanjutkan hidup kamu. Kenangan yang kamu punya itu indah, walaupun menyakitkan. Biarkan kenangan itu dek, biarkan dia di memori kamu dek. Jangan terus kamu buka kenangan itu, karena kamu harus membuat yang baru."
 "Will you help me get up?"
 "Of course."
 "And.. why didn't you hit me back when I was to hit you on your face?"
 "Because I'm your brother. I'm elder that you, and I should have known more things than you."
 "Well.. thanks."
 "Okay Klaus, get up. Arghh.. badan kamu berat juga dek."
 "Hahaha iya. Lagi sering makan sekarang-sekarang ini."
 "Pantesan agak gemukan, hehehe. Tapi belum chubby pipinya."
 "Dasar kakak. Pasti cara bahan buat ditarik-tarik."
 "Ohya, ini kotak musiknya."
 "Eh, iya ka. Thanks.."


Sial. Tanganku terlalu licin. Aku tak bisa menjaganya. Kotak itu sempat terbuka dan memainkan melodi awal lagu Für Elise yang semakin mengecil suaranya selagi kotak itu terjun bebas ke lautan. Aku menjatuhkannya. Sejenak aku terdiam.
 "I dropped it.. I dropped it."
 "It's okay, Klaus. You've backed up your memories here, in your heart."
 "Can I restore it some time?"
 "Yeah. But, remember that you should make the new ones.."


Selamat tinggal, kotak musik tua. Kini dia terbenam bersama seluruh kenangan indah yang menyakitkan itu. Aku tak melihatnya lagi muncul dipermukaan. Berat karena isinya yang merupakan bilah-bilah besi. Massa jenis besi lebih besar daripada massa jenis air sehingga besi akan tenggelam. Itu sudah hukum alam. Aku berjalan menuju kabinku bersama kakakku. Dia menyelamatkanku hari ini. Hampir aku berfikir untuk melompat dari pesiar mewah ini, sehingga tak lama wajahku akan muncul di berita utama koran : Bocah Kecil Tewas Tenggelam Dari Kapal Pesiar. Aku takkan sebodoh itu. Aku takkan menghabisinya karena ini. Kata-kata kakakku begitu berarti. Aku takkan mengecewakan semuanya yang mencoba mengeluarkanku dari sumur tua ini. Aku akan terus melangkah. Ya, melangkah. Membuat kenangan-kenangan baru.

Luka itu telah pergi. Aku terbebas dan sembuh dari luka itu, namun aku akan merindukannya.