Translate This Page

Friday, December 28, 2012

Why

Tak seperti biasanya, hari ini restoran padat oleh para pengunjung. Kebanyakan dari mereka adalah turis-turis asing yang datang untuk berlibur di Singapura. Station penuh dengan bahan-bahan masakan. Para koki senior begitu sibuk dan serius mengolah bahan makanan menjadi masakan khas peranakan yang lezat. Rajiv pun dengan giat membuat teh tarik untuk para pelanggan.

“Lee, bisa kau bawakan pesanan ini ke meja nomor sepuluh?” ujar Razaq.
“Ah, baiklah,”

Aku membawa nampan berisi pesanan makanan ke meja nomor sepuluh. Pengunjung di meja nomor sepuluh bukanlah turis asing. Mereka warga keturunan Tionghoa sepertiku.

“Nasi ayam saus tiram untuk dua orang,” ujarku.
“Ah, akhirnya pesanan kami datang. Terima kasih, nak,”

Aku menaruh piring-piring pesanan di atas meja. Pengunjung meja nomor sepuluh nampak senang, terlebih ketika aku memberikan mereka teh herbal gratis. Kurasa mereka akan kembali lagi kesini.

“Ya, terima kasih. Silahkan datang kembali,”

Aku melirik sumber suara tersebut. Suara yang tak asing lagi bagiku. Luna, ia baru saja menyapa sekelompok pengunjung yang telah selesai makan. Ia segera membereskan meja yang telah digunakan lalu kembali ke dapur. Aku segera mengejarnya ke dapur. Kutarik tangannya dan kutahan ia sebentar.

“Hey, kau tak apa-apa?” tanyaku. Luna dengan kasar melepaskan pegangan tanganku.
“Aku tak apa-apa,” jawabnya dingin.

Luna kembali membawa pesanan berikutnya untuk para pengunjung. Ia mengacuhkanku dan ini tak biasanya terjadi. Aneh sekali. Luna biasanya senang jika aku bekerja bersama dengannya. Ia bahkan biasa mengejekku ketika kami bekerja. Kali ini tidak. Ia tak mengejekku. Ia tak nampak senang ketika aku berbicara dengannya.

Aku jadi semakin tak mengerti dengan Luna. Setiap aku berpapasan dengannya membawa pesanan untuk pengunjung, ia tak pernah tersenyum padaku. Ketika aku memanggilnya dan memintanya membawakan sesuatu untuk pelanggan, ia hanya mengangguk. Ia tak pernah memanggilku untuk meminta bantuan, semisal membawakan sesuatu atau menanyakan apakah pesanan pengunjung telah siap atau belum. Aku jadi tak enak hati pada Luna. Apa aku telah melakukan hal yang salah padanya sampai ia marah padaku? Kulihat Luna sedang membereskan meja nomor sembilan belas. Aku menghampirinya dan berniat membantunya membawakan piring-piring dan gelas kotor.

“Biar kubantu,” ujarku.
“Tak usah. Biar aku saja,” tolaknya.
“Tidak. Kau kewalahan. Biar kubantu,” aku bersikeras.
“Aku mampu melakukan ini sendirian,”
“Tapi kau tak akan kuat membawa beban sebanyak itu. Bagaimana jika piringnya pecah?”
“Kalau piring ini pecah, yang akan mendapat teguran ‘kan aku, bukan kau!”

Aku terkejut karena Luna membentakku, walaupun volume suaranya tak keras.

“Kenapa kau membentakku?”
“Kau tak suka?”
“Bukan begitu. Aku hanya merasa bahwa kau aneh hari ini,”
“Aneh? Hah, perasaanmu saja,”
“Tidak. Ini bukan sebatas perasaanku. Ada apa denganmu? Kenapa kau jadi tak ramah padaku dan Rei?”
“Sudahlah, Lee. Kembalilah bekerja,”
“Tapi Luna, kau 'kan sahabatku. Kenapa aku tak boleh tahu?”
“Bukan urusanmu. Hanya karena kau sahabatku, jadi kau pikir kau boleh mengetahui segala hal tentangku?”
“Bukan begitu maksudku,”
“Pergilah. Aku tak mau diganggu,”

Aku terkejut ketika Luna berkata seperti itu. Apa aku salah mendengar? Luna, ia tak mau kuganggu? Aku semakin yakin ada yang tak beres dengannya. Luna pasti marah padaku, dan aku tak tahu apa sebabnya. Aku jadi semakin tak enak hati. Aku mencoba mendekatinya, berharap aku masih bisa diberikan kesempatan olehnya untuk berbicara sebentar saja. Tapi kurasa Luna telah berubah. Setiap kali aku mencoba mendekatinya, ia pergi. Selau seperti itu. Ia menghindariku.

Tetapi kenapa ia menghindariku?

----

Jam kerja telah selesai. Waktunya kami para karyawan pulang.

“Luna, Rei bilang bahwa ia ingin pergi denganmu setelah restoran tutup,” ujar Razaq sembari menggantung seragam kerjanya.
“Aku tak ingin pergi kemanapun setelah pulang bekerja. Aku ingin pulang,” jawab Luna.
“Tapi ia akan datang menjemputmu,”
“Suruh saja ia pulang,”

Aku menghela nafas pelan. Terdengar suara deru motor dari luar. Ah, Rei pasti sudah tiba dan akan mengajak Luna pergi malam ini.

“Lihat, Rei sudah tiba. Ia pasti ingin mengajakmu makan malam,” ujar Rajiv.
“Ah, tahu apa kau tentang makan malam?” balas Luna sinis.
“Hey, kurasa Rei memang akan mengajakmu pergi makan malam,” jelas Rajiv.
“Aku tak lapar,”

Luna mengenakan jaketnya lalu mengambil tasnya di dalam loker. Ia mengunci lokernya lalu segera meninggalkan dapur. Sebelum ia pergi, aku berlari mengejarnya dan menahannya ketika ia tiba di ambang pintu.

“Luna, kumohon jangan pergi. Aku ingin tahu ada apa denganmu,” aku memohon.
“Lepaskan aku, Lee,” Luna menarik tangannya.
“Kau ini kenapa? Kau tak bersikap ramah padaku, padahal biasanya kau selalu riang bahkan memarahiku. Kali ini kau memarahiku, tapi bukan karena kau gemas atau kesal. Kau memarahiku karena kau...”
“Karena aku muak denganmu,”

Aku terkejut. Muak? Luna muak denganku?

“Tapi kenapa?”
“Aku tak perlu menjelaskan alasannya, Lee,”
“Kau tak bisa seperti ini! Kita bersahabat dan...”
“Hentikan omong kosongmu, Lee,”

Aku merasa terpukul. Perasaanku sakit. Apa yang kudengar tadi adalah nyata? Luna tak mungkin berkata hal seperti itu pada sahabat-sahabatnya, termasuk aku. Tapi kenapa sekarang ia mengatakan hal itu padaku? Apakah aku masih sahabatnya?

“Luna, kenapa kau mengatakan hal itu padaku?”
“Karena...”
“Karena apa? Tolong beritahu aku jika aku melakukan kesalahan padamu,”
“Kau hampir melompat dari Esplanade Bridge, ‘kan?”
“Ta, tapi...”
“Kenapa kau tak melompat saja?”
“Apa?”
“Kenapa kau tak melompat? Melompatlah. Melompat dari jembatan itu,”
“Apa kau marah karena aku sempat berfikir untuk mengakhiri hidupku?”
“Tidak. Aku tak marah. Kau tak sadar aku memintamu untuk melompat?”
“Apa? Kau... Kau ingin aku... Mati?”

Luna terdiam. Ia lalu menghela nafas.

“Lee, cukup. Aku tak mau melihatmu lagi,”

Luna berlari keluar meninggalkanku yang berdiri kaku dengan hatiku yang terasa sangat sakit. Ia bahkan melewati Rei dan meninggalkannya begitu saja. Rei menatapku, mengangguk padaku, lalu memacu motornya untuk mengejar Luna yang telah berlari lebih dulu. Rajiv dan Razaq menghampiriku. Mereka merangkulku dan menepuk pundakku.

“Lee, sabarlah,” Rajiv menghiburku.
“Aku tahu ini pasti sulit untukmu,” sambung Razaq.
“Tapi mengenai ucapan Luna tadi, apa itu benar?” tanya Rajiv.

Aku terdiam, lalu mengangguk pelan.

“Ya, itu benar. Aku sempat terfikir untuk melompat,” ujarku.

Rajiv dan Razaq nampak sangat terkejut. Mereka nampak kecewa, namun mereka langsung merangkulku.

“Lee, kenapa kau berfikir seperti itu?” tanya Razaq khawatir.
“Kau tahu, karena perbuatanmu kau bisa dipenjara!” sambung Rajiv.
“Sudahlah, kawan-kawan. Aku tak mau mengingat hal itu lagi. Aku tahu saat itu aku sedang tak punya pilihan jadi aku berfikir untuk menghabisi hidupku saja,” jelasku.
“Jangan bodoh! Kau masih punya kami!” tegas Rajiv.
“Jangan pernah kau terfikir untuk mengakhiri hidupmu, Lee,” tambah Razaq.

Aku mengangguk pelan. Aku tak mengira bahwa Luna akan mengetahui tentang hal itu, rencana bunuh diriku. Terlebih, aku tak mengira bahwa Luna akan bersikap seperti ini. Ia berubah sangat drastis. Mungkin hampir seratus delapan puluh derajat dari sikapnya dulu. Perasaanku sakit ketika berkata bahwa ia lebih menginginkan aku untuk melompat. Apa salahku padanya? Selama ini aku mencoba bersikap baik padanya, dan bahkan seharusnya aku yang marah padanya untuk setiap omelan, larangan, atau pukulan yang ia layangkan padaku, walaupun hanya bercanda.

Luna, ada apa denganmu sebenarnya?