Translate This Page

Monday, November 26, 2012

Morning Attack

“Kenakan helm dengan benar, Timothy!”

Paman Richard menegur adikku. Kubetulkan helm yang dikenakan adikku. Nampaknya tali pengencangnya longgar sehingga dagunya tak bisa terlindungi oleh pelindung dagu. Sekali tarik tali pengencangnya dan... ya, kepala Timothy terlindungi sekarang.

“Paman, kami berangkat dulu,” ujarku.
“Hati-hati, Lee. Jangan mengebut!” pesan paman.

Kulaju motorku dengan kecepatan sedang. Keluar dari Amoy Street, kupacu motorku di jalan yang lebih besar. Pagi ini nampak lebih lengang dari biasanya. Tak banyak hiruk pikuk kendaraan roda empat yang biasa memenuhi jalan ini.

“Jalanan pagi ini sepi juga. Benar, ‘kan?” ujarku. Timothy menepuk pundakku.
“Ada apa?” tanyaku.

Aku melirik ke arah spion kanan. Adikku mengangkat jempolnya sebagai tanda setuju. Aku tertawa kecil melihat tingkah adikku.

“Ah, kau ini. Salah sendiri tak mau bicara, jadi sulit ‘kan berbincang-bincang seperti ini,”

Adikku memukul bagian belakang helmku. Pukulannya terasa ke kepalaku. Aku terkejut, tapi aku lantas tertawa karena aku tahu itu pasti balasan dari Timothy untuk perkataanku.

“Hahahaha! Cukup, Timmy. Jangan pukul lagi helmnya,”

Kulirik lagi spion kanan motor ini. Timothy nampak senang melihat-lihat suasana Singapura pagi ini. Langit pagi yang nampak mendung tetapi masih cerah, ditambah lagi suasana lalu lintas yang tak padat membuat perjalanan dari rumah menuju sekolah terasa cukup nyaman. Kusadari tangannya sedari tadi tak bisa diam memainkan ponselnya. Timothy bisa jatuh terjungkal jika sewaktu-waktu aku harus melakukan pengereman mendadak.

“Timmy, masukkan ponselmu ke saku jaketmu dan berpeganganlah,” ujarku, “Kau bisa jatuh terjungkal ketika aku melakukan pengereman mendadak jika kau tak berpegangan,”

Timothy nampak memasukkan ponselnya ke dalam saku jaketnya. Ah, ia rupanya patuh juga pada ucapanku, tapi tangannya tetap tak berpegangan pada sisi pegangan di jok belakang motor. Aish, anak ini...

“Timmy, kau bisa jatuh. Berpeganganlah atau betulkan posisi dudukmu. Atau, majulah sedikit ke dekatku dan pegang sisi pinggangku,” ujarku.

Timothy duduk lebih maju ke dekatku dan ia malah memegang perutku, bukan pinggangku. Kontan saja aku kaget dan kegelian.

“Timmy! Lepaskan! Maksudku genggam sisi badanku, tapi jangan benar-benar seperti memelukku. Genggam saja jaketnya atau genggam kedua saku jaketku di tiap sisinya,” jelasku.

Timothy terdengar tertawa kecil. Aku ikut tertawa juga mendengar tawanya. Ah, adikku ini. Nampaknya ia memang ingin bercanda denganku. Tapi, bercanda seperti itu ketika aku sedang menyetir bukanlah hal yang tepat. Bisa saja konsentrasiku pecah dan motor ini oleng karena aku merasa kegelian di bagian sisi perutku.

“Kapan-kapan kau kuajari cara mengendarai motor. Kau mau?” tanyaku.

Aku tak tahu jawaban Timothy apa karena aku tak melirik lagi spion kananku. Di hadapanku ada persimpangan dan lampu lalu lintas berubah menjadi merah. Beruntunglah aku mendapat barisan terdepan. Segera kuhentikan motorku dan menoleh ke belakang. Timothy tersenyum jahil padaku.

“Jangan lakukan hal itu lagi. Geli rasanya. Kau ingin kukelitiki juga nanti ketika kau sudah pulang, hah?” tegurku. Timothy tertawa.
“Tak mau. Lagipula tadi kau yang suruh aku memegang pinggangmu,” jawab Timothy.
“Pinggang, bukan perut. Lagipula kau malah memelukku dan selain geli, aku juga jadi sesak. Ikat pinggangku nampaknya terlalu kencang kuatur,”

Satu buah motor lalu ikut mengantri di belakang motor kami. Di sampingku ada sebuah mobil sedan berwarna merah mengkilat yang mengingatkanku dengan mobil yang serupa yang selalu diparkir di samping tembok belakang restoran tuan Edvard. Mobil yang bagus. Butuh berapa tahun kira-kira agar aku bisa membelinya sendiri? Sedang asyik melamun, helmku dipukul lagi dari belakang. Aku menoleh ke arah spion dan kulihat Timothy nampak pucat. Aku langsung menoleh ke belakang dan Timothy begitu ketakutan.

“Timmy? Ada apa?” tanyaku kaget.
“Lee, kau mencariku?”
“Steve?!”

Mobil merah di sampingku melaju, dan diikuti oleh Steve di belakangnya. Dan ketika ia melewati kami, sesuatu yang sangat cepat terjadi. Entah bagaimana tapi tiba-tiba terdengar pekikan Timothy dan kurasakan sebuah benda tajam dengan cepat menyayat betis kananku. Aku memekik kaget. Motor besar yang dikendarai Steve lalu melaju begitu saja dengan cepat. Rasa perih di betisku begitu membabi buta. Kupejamkan mataku menahan rasa sakit. Astaga, apa yang ia lakukan?

“Timmy, kau tak apa-apa?” tanyaku khawatir.

Aku lalu menoleh ke belakang untuk memeriksa keadaan adikku. Wajahnya nampak menahan sakit. Di belakangku mulai ada antrian kendaraan yang mulai mengklaksoniku. Segera kupacu motorku melewati persimpangan tersebut sambil dengan hati-hati mencari apotek terdekat.

“Timothy, jika kau melihat apotek segera beritahu aku,” ujarku.

Sambil terus menahan sakit, aku terus memacu motorku. Sial, Steve pasti tadi mengeluarkan benda tajam untuk dengan sengaja melukai kami. Entah apapun itu bendanya, kurasa luka di betisku cukup dalam. Atau bisa jadi ia dengan sengaja hendak benar-benar memutuskan betisku. Bajingan.

Koh,” bisik Timothy.
“Ya? Apa kau melihatnya?” tanyaku.

Tangan Timothy menunjuk ke sebuah apotek di sisi kiri jalan besar ini. Aku segera menepikan motorku dan memarkir motorku. Kumatikan mesin motor dan turun dari motor. Ah, sial! Sakit sekali rasanya ketika kaki kananku memijak jalan. Celana jeansku terkoyak di bagian betis dan di bagian yang sobek itu nampak basah oleh cairan berwarna merah gelap pekat. Aku mengangkat celana jeansku dan kulihat luka sayatan di betisku cukup dalam. Kupegang luka itu dan aku meringis keras karena rasa perih yang kurasa.

“Sialan. Bajingan itu,” umpatku.

Aku lalu memeriksa adikku. Luka yang sama didapat adikku di betis kanannya, hanya saja tak sedalam luka yang kudapat. Darahnya mengalir dari luka sayatan di betisnya, dan mengotori kaus kaki putihnya serta meninggalkan bercak di sepatu basketnya.

“Sangat sakitkah?” tanyaku. Timothy mengangguk.

Aku lalu membawa adikku masuk ke dalam apotek. Apoteker wanita yang bertugas disana terkejut melihatku dan Timothy yang berdarah di bagian betis. Tanpa pikir panjang ia langsung mencari apa yang kami butuhkan, lalu menghampiri kami dengan gulungan-gulungan perban dan obat antiseptik.

“Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya apoteker tersebut.
“Ceritanya sangat panjang. Sekarang, kumohon tolong kami. Bisakah ini semua selesai sebelum jam delapan? Kami bergegas menuju sekolah. Adikku tak boleh terlambat masuk sekolah,” tepisku.
“Ah, baiklah kalau begitu,”

Apoteker tersebut dengan gesit mengobati luka di betis Timothy. Timothy nampak kesakitan dan meringis ketika apoteker tersebut membalut betisnya dengan perban. Aku mengobati sendiri luka di betisku karena tak mau membuang-buang waktu lagi. Timothy tak boleh sampai terlambat ke sekolah. Aku tahu betisnya terluka, tapi bagaimanapun juga Timothy masih kuat untuk mengikuti pelajaran di sekolah. Ia tak boleh sampai bolos.

----

Tiba juga akhirnya kami setelah perjalanan yang memakan waktu lama karena insiden yang tak pernah kami harapkan itu. Kuparkir motorku di tempat parkir yang ada. Setelah turun dari motor, aku membantu Timothy turun dari motor dan kupapah ia sampai atrium sekolah.

Sudah, sampai disini saja,
“Kau yakin kau tak apa-apa?” tanyaku ragu. Timothy mengangguk.
“Tenang saja. Kelasku tak jauh. Kakak pulang saja. Aku akan baik-baik saja,”
“Tapi, kau masih terpincang-pincang. Aku khawatir jika lukanya memang dalam dan kau malah tak bisa berjalan,”
“Jangan khawatir, Koh. Aku akan baik-baik saja. Lagipula aku akan bertemu teman-temanku. Mereka akan menolongku,”

Aku menatap Timothy khawatir, tapi bagaimanapun juga aku harus melatihnya agar mandiri. Toh ia sendiri yang bilang bahwa ia akan baik-baik saja. Setelah pamit, Timothy berjalan terpincang-pincang masuk ke dalam sekolah. Dari jauh kupantau ia. Kulihat beberapa anak menghampirinya. Mereka menanyainya dengan banyak pertanyaan.

“Timothy, kau baik-baik saja?”
“Kakimu kenapa?”
“Lihat, ada noda darah di kaus kaki dan sepatumu!”
“Timothy, apa yang terjadi?”

Aku menghela nafas lega. Ah, syukurlah kalau begitu. Teman-teman Timothy begitu perhatian dan membantu Timothy berjalan. Kukira awalnya Timothy tak punya teman karena ia tak mau bicara, tapi nyatanya temannya cukup banyak. Aku tak seharusnya meragukannya seperti itu. Aku tak perlu terlalu mengkhawatirkan Timothy dan sekarang aku harus kembali pulang untuk bersiap-siap. Ya, aku harus pergi bekerja.

----