Translate This Page

Tuesday, January 10, 2012

Hidayah Nggak Bisa Dipaksakan Oleh Manusia

PS: Sebelumnya saya nggak ada maksud untuk menyinggung atau menyindir siapapun ya. Ini cuman apa yang ada di benak saya, dan saya juga sempat baca-baca dulu artikel di internet berkaitan dengan tema hidayah, jadi saya nggak sembarangan ngomong.

Tema postingan saya kali ini rada religius. Entah kenapa saya juga nggak ngerti saya bisa post something religious kayak gini. Mungkin dapat cukup banyak pencerahan dari program tutorial (ups). Tapi saya justru harus berterima kasih sama akang mentor saya, karena sama akang mentor saya justru dapet banyak cerita lewat sharing sessions. Nuhun ya, kang :D

Oke, langsung saja saya mau jelasin apa yang ingin saya jelaskan, sesuatu yang hendak disampaikan melalui sesuatu dengan cara sesuatu yang sesuatu banget (ngelantur). Jadi gini, semenjak orangtua saya pulang haji, sikap mereka jadi berubah, somehow. Perubahan itu terlihat dari sisi religius. Kalau dibandingin sama saya yang sisi religiusnya jarang nongol, pasti keteteran saya ikutin ketekunan ibadah kayak gitu. Ngeliat beberapa temen juga ada yang memang sisi religiusnya lebih bagus dibandingin yang lain, saya juga mikir lagi pasti saya keteteran kalau kayak mereka. Terkadang orangtua dan beberapa teman suka kasih motivasi supaya sisi ibadah saya bisa ditingkatkan. Tapi yang bikin saya kurang sreg adalah cara mereka. Terkadang, mereka pakai cara yang menurut saya 'memaksa'. Memang kalau untuk ibadah yang jelas-jelas wajib itu mau nggak mau kita yang harus memaksakan diri (dan saya ngerti kok kalo ibadah saya emang belum sempurna, tapi paksakan saja deh), tapi kalau untuk ibadah yang lain, ataupun ajaran-ajaran lain kan nggak bisa semudah itu diterapkan di kehidupan seseorang.

Contoh pertama gini, saya orang yang (jujur) nggak begitu sering melakukan ibadah sunnah. Puasa sunnah aja saya itu kalau lagi gak ada duit atau lagi males makan (soalnya saya inget cerita tentang Rasulullah yang karena nggak ada makanan atau apa ya, saya juga lupa, akhirnya beliau puasa sampai Maghrib), atau solat Dhuha itu biasanya kalau lagi 'bener'. Ketika saya diajak seseorang untuk melakukan ibadah sunnah, berarti saya punya dua pilihan: ya dan tidak. Terkadang, orang itu walaupun diajak tapi masih ada kecenderungan untuk bilang tidak. Tapi ada aja beberapa orang yang, harus saya akui saking religiusnya, ajakan itu berubah jadi semacam paksaan. Menurut saya secara pribadi, ibadah yang baik itu ketika kita menjalaninya tanpa ada rasa paksaan, karena dari situ muncul keikhlasan beribadah yang berbuah ketenangan dan kenyamanan ketika prosesnya. Kalau ketika kita melakukan ibadah itu sambil ngegerutu karena merasa terpaksa, saya rasa sia-sia karena gak dapet esensi ibadah tersebut. Orangtua saya kerap kali menekankan saya untuk melakukan ibadah-ibadah sunnah. Awalnya mungkin mengajak, tapi lama kelamaan ajakan tersebut jadi memaksa dan akhirnya menyudutkan saya. Saya jadi berfikir lagi, kalau saya melakukan ibadah itu dan terpaksa, saya jadi kasihan sama Allah, dan tentunya sama diri saya sendiri. Saya ingin ibadah yang, tanpa dipaksa. Saya ingin beribadah karena keikhlasan saya bukan karena paksaan orang lain.

Contoh kedua, saya masih sering jalan-jalan keluar pakai jeans pendek. Biasanya selutut, atau paling pendek beberapa milimeter di atas lutut. Orangtua saya sering banget ingetin saya untuk pakai celana pendek. Kasus ini mungkin mirip dengan perempuan yang belum pakai kerudung. Menutup aurat memang kewajiban, tapi terkadang sebagian orang mengingatkan dengan cara yang salah. Beberapa cara justru malah jadi ofensif dan gak bisa diterima. Saya juga begitu. Ketika saya memutuskan untuk pakai jeans pendek, lalu ada orang bilang harus pakai jeans panjang dengan alasan nutupin lutut, oke saya terima pernyataan itu tapi kan yang memutuskan untuk pakai kedepannya saya sendiri. Kalau dipaksa-paksa, orang justru bakalan nggak terima. Ketika seorang perempuan memutuskan untuk pakai kerudung, pasti dia sudah membuat sebuah keputusan. Karena pakai kerudung itu nggak setengah-setengah, misalnya lepas pakai kerudung, orang lain pasti mempertanyakan konsistensinya kan? Ini kaitannya sama hidayah. Mungkin saya belum dapat hidayah yang bener-bener konsisten untuk selalu pakai celana panjang ketika pergi keluar, tapi hidayah itu kan suatu hari akan datang seiring dengan usaha kita juga. Saya juga sambil coba-coba membiasakan pakai jeans panjang kalau main keluar, walaupun kadang-kadang pakai jeans pendek. Intinya, hidayah itu gak bisa dipaksakan sama manusia.

Terakhir, saya kurang suka dengan beberapa orang yang saking religiusnya, sampai-sampai seringkali mengkritik hal-hal yang memang bersifat duniawi. Bahkan terkadang hal-hal yang kecil. Contohnya, waktu itu saya lihat ada seorang teman bilang "Selamat Tahun Baru", lalu ada seseorang yang langsung mengkritik dengan beralasan bahwa seharusnya Tahun Baru itu bla bla bla bla bla (terlalu panjang uraiannya, saya malas ngetiknya). Teman saya mendebat dia lagi dan didebat lagi. Jujur, saya jadi malas jadinya. Memang perayaan Tahun Baru itu identik dengan hura-hura dan banyak madharatnya, tapi hanya sebatas bilang "Selamat Tahun Baru" nggak berarti kehilangan semua akidah kan? Toh hanya sebatas menyelamati mereka yang memang benar-benar merayakan aja. Konteksnya kan memberi selamat, sosial juga ujung-ujungnya, dan bukan untuk yang lain. Semacam kasih selamat ulang tahun sama orang yang ulang tahun dan nggak lebih. Kasus yang mirip-mirip pernah terjadi ketika saya ulang taun. Ada yang bilang bahwa acara traktir saya ketika ulang taun itu pemborosan dan terlalu duniawi. Menurut saya itu salah. Pemborosan, memangnya gimana saya menghambur-hamburkan uangnya? Dipakai untuk beli sesuatu yang nggak penting? Tidak! Saya justru traktir teman-teman di acara ulang tahun karena ingin berbagi. Iya kan? Dengan mentraktir temen, kita kan berbagi rezeki. Lalu dengan makan bareng dan berkumpul juga mempererat silaturahmi di antara teman. Nggak salah kan? Ada yang bilang harusnya ketika ulang tahun itu jadi bahan introspeksi diri. Ada benarnya introspeksi supaya semakin tua kita bisa berubah menjadi individu yang lebih baik. Tapi nggak berarti bahwa kita harus tenggelam terlalu dalam dengan introspeksi itu juga kan? Intinya perayaan-perayaan seperti itu, menurut saya secara pribadi boleh-boleh aja dirayakan, asal dengan melihat batasan-batasan tertentu dan secara fundamental lebih banyak mendatangkan manfaat daripada madharat. Toh manusia hidup di dunia juga masih perlu hiburan. Selain buat beribadah dan bekerja, manusia di dunia juga mencari kebahagiaan. Kebahagiaan yang dicari tentu saja yang sudah memiliki batas-batas tertentu, batasan norma, dan sebagainya.

Jadi pada intinya, balik lagi yang namanya hidayah itu nggak bisa dipaksakan sama manusia. Hidayah itu datengnya dari Tuhan langsung, dikasih buat manusia pada waktu dan tempat yang nggak pernah bisa kita tebak. Tapi kita juga nggak bisa cuman diam aja menunggu hidayah itu datang. Kita harus berusaha, mencoba berbagai cara supaya hidayah itu cepat datang sama kita. In other words, hidayah itu dicari juga. Dan setelah hidayah datang ke hidup kita dan kita sudah konsisten dengan hidayah itu, perubahan-perubahan di kehidupan kita bisa diterapkan. Saya rasa itu yang saya mau coba sampaikan. Semoga nggak menyinggung, dan kalau ada salah-salah, harap maklum karena saya juga manusia, bukan dewa apalagi Tuhan :)