Translate This Page

Sunday, December 2, 2012

Don't Go

Tiba di rumah, perlahan kubuka pintu menuju garasi di samping toko paman Richard. Lampu garasi masih menyala. Pasti tadi paman buru-buru pergi ke rumah sakit. Aku berbalik dan kulihat Rei berdiri menatapku bingung.

“Lee, kau tak apa-apa?” tanyanya. Aku mengangguk pelan.
“Masuklah. Aku akan segera mengunci pintunya,” jawabku.

Rei masuk, lalu segera kukunci pintu. Kami lalu menaiki tangga untuk masuk ke rumah. Kulihat ruang keluarga nampak berantakan. Ada pecahan cangkir kopi di lantai, dengan koran yang halamannya berserakan di atas meja kopi. Kurasa paman sedang membaca koran ketika mendengar berita itu dan ia panik, sehingga ia tak sengaja menjatuhkan cangkir kopinya. Di asbak ada dua puntung rokok yang telah menghitam. Jam besar di sudut ruangan menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Seandainya aku bisa memutar ulang waktu, tapi itu pasti tak akan mungkin.

“Lee, kau beristirahatlah. Segera naik ke kamarmu. Biar aku yang membereskan kekacauan disini,” ujar Rei.
“Tapi...”
“Sudahlah, tenang saja. Nanti aku akan tidur di ruang keluarga di lantai dua sambil menonton televisi. Kau naik ke kamarmu saja. Hmm... Nampaknya paman Richard yang menjatuhkan cangkir kopinya. Sayang sekali padahal cangkirnya bagus,” potong Rei.

Aku menggeleng pelan.

“Tidak. Biar aku saja yang membereskan,”
“Kau harus beristirahat. Lee, kau nampak lelah dan terpukul. Aku tahu bagaimana perasaanmu. Apa yang kau rasakan sama seperti ketika aku kehilangan ayahku. Mungkin bedanya, Timothy berhasil diselamatkan sementara ayahku... Ya, kau tahu ayahku sekarang sedang tidur di pangkuan Tuhan. Berlarut-larut dalam kesedihan seperti ini hanya akan membuatmu semakin sakit. Kau harus beristirahat. Kau mengerti?”

Aku mengangguk pelan lalu pergi ke kamarku di lantai dua. Tiba di kamarku, segera kututup pintu kamarku, kukunci, dan kusandarkan tubuhku ke pintu kamarku. Air mataku meleleh lagi. Lututku lemas. Perlahan aku menjatuhkan tubuhku dan duduk bersandar di pintu. Rasanya sakit sekali mengetahui orang yang kusayangi, adikku, sekarang terbaring lemah di rumah sakit. Kondisinya yang sangat kritis membuatku dibayang-bayangi ketakutan antara hidup dan matinya. Aku tahu Timothy anak yang kuat, tapi bagaimanapun ia tetap adik kecilku. Bagaimana jika ia tak kuat menahan sakit itu? Bagaimana jika ia menyerah? Atau, bagaimana jika ia sudah terlanjur membenciku dan lebih memilih untuk bersama ibu dan ayah daripada kembali bersamaku? Berapa lama aku akan kuat hidup tanpa orang-orang yang kusayangi? Berapa banyak lagi orang-orang yang harus kulihat pergi dengan mata kepalaku sendiri? Masih bisakah aku tegar ketika akhirnya aku yang harus menebar abu jenazah adikku di laut?

Di bawah tempat tidur, kulihat sebuah boks berwarna hitam. Aku merangkak ke dekat tempat tidur dan tanganku merogoh boks tersebut. Rupanya itu adalah boks sepatu basket Timothy. Boks itu kosong, hanya ada secarik kertas yang sudah kumal. Aku membentangkan kertas tersebut dan membaca tulisannya.

“Jangan beritahu Lee tentang sepatu ini. Dia memang menyebalkan. - Paman Richard,”

Aku tersenyum sendiri membaca tulisan tersebut. Kumasukkan kembali kertas itu ke dalam boks sepatu Timothy dan kumasukkan lagi boks tersebut ke bawah tempat tidur. Aku terdiam sejenak. Kurasa selama ini aku sudah begitu egois dan keras kepala. Keegoisan dan kekeraskepalaanku membuat Timothy akhirnya menjadi korbannya. Aku hanya tak ingin memberatkan siapapun, tetapi mungkin caraku salah selama ini. Aku menghela nafas dan mulai menyesali apa yang selama ini kulakukan. Seandainya aku tak seperti itu sejak dulu, tetapi semua sudah terlanjur terjadi. Timothy pasti selama ini memendam rasa kesal padaku.

Tanganku mencengkram erat tempat tidurku dan aku berusaha bangun. Kulihat sekeliling kamarku. Meja belajar Timothy nampak berantakan. Lampu belajarnya masih menyala, menerangi daerah sekitarnya. Aku berjalan menuju meja belajarnya. Kulihat buku tugas Timothy berada di atas meja belajarnya. Kubuka halaman demi halaman buku tugasnya. Timothy anak yang rajin. Nilai-nilainya tak pernah buruk. Di salah satu tugas matematikanya, ia mendapat nilai delapan puluh enam. Kulihat hasil pekerjaannya. Terdapat beberapa nomor soal yang ditandai salah. Aku tersenyum sambil terisak melihat jawaban-jawaban yang salah itu.

“Bodoh. Sinus dari dua ratus tujuh puluh saja tak tahu. Seharusnya minus satu,”

Kututup buku tugasnya dan kutaruh kembali di atas meja belajarnya. Di atas meja belajarnya juga terdapat beberapa lembar uang yang tadi ia berikan dan kaus Nike berwarna biru laut tua yang sempat menjadi bahan pertengkaran kami tadi sore. Tanganku gemetaran mengambil kaus tersebut. Kuremas kaus tersebut dan aku semakin terisak. Kutengadahkan kepalaku agar air mataku tak turun, tapi itu tak berhasil.

“Timothy...”

Tangisku meledak lagi. Aku jatuh berlutut. Di atas meja belajarnya, aku terisak hebat. Tanganku terus memeluk kaus milik Timothy itu. Berulang kali aku memanggilnya, dan semakin aku takut kehilangan adikku. Aku pasti nampak sangat menyedihkan sekarang. Aku menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainannya. Tapi adikku bukanlah sebuah mainan. Ia adalah seorang yang sangat aku sayangi, jadi perasaan kehilangan itu pasti akan jauh lebih menusuk. Memoriku memutar ulang kejadian tadi sore dan juga memutar semua momen-momen indah yang aku dan adikku lakukan. Bermain piano bersama sambil bernyanyi, berolahraga pagi, bermain basket, menikmati es krim potong di taman bersama, menghabiskan ramen, berjalan-jalan, bersama paman merayakan ulangtahunnya yang ke-empat belas, sungguh demi apapun aku tak ingin kehilangan adikku. Aku akan lakukan apapun asalkan adikku mau memaafkanku. Aku akan lakukan apapun untuk membuat Timothy kembali tersenyum, bahkan agar ia bisa kembali bicara seperti dulu. Aku akan lakukan apapun asalkan adikku masih bisa hidup. Aku tak ingin ia pergi. Aku tak ingin kehilangan adikku. Sungguh, aku tak ingin itu terjadi.

“Timothy... Jangan pergi,”

----