Translate This Page

Monday, April 23, 2012

A Spirit of Saving

Sepertinya bulan ini saya punya banyak pengeluaran uang. Saya jadi sering withdraw dari rekening tabungan saya karena saya rasa saya ini lagi banyak ingin beli ini itu (or at least, DJMAX Technika and out-for-dinner are good reasons). Sekuat-kuatnya nahan godaan supaya nggak beli ini itu, tetep aja berujung di boks ATM. Mungkin saya harus dikurung di rumah selama sebulan supaya nggak jajan ini itu atau main kesana sini terus.

Soal nabung-menabung, sebenernya saya udah nggak asing lagi sama budaya itu. Saya malah dari dulu emang udah dibiasakan nabung buat beli sesuatu yang saya pengen. Cuman entah kenapa semakin dewasa, semangatnya tambah menurun. Mungkin bukan semangat yang menurun, tapi godaan yang tambah edan. Saya suka bangga sendiri kalau di awal bulan saya ngeliat total uang yang ada di rekening saya bertambah seratus atau dua ratus ribu gara-gara berhasil nabung sebesar itu bulan kemarinnya. Rasanya itu kayak Katy Perry yang dari dadanya meletus fireworks warna-warni (eh?). Kenapa sampai sebangga itu? (padahal dipikir-pikir lebih bangga lagi kalau uang bulanan itu nggak dipakai selama sebulan, walhasil bulan depan totalnya jadi dobel)

Nabung sebesar seratus ribu atau dua ratus ribu mungkin kedengerannya gampang. Tapi pada prakteknya, gak segampang yang dikira. Ketika kita udah bisa mengontrol emosi dari barang-barang bagus atau maen game, bahkan makan diluar, masih ada cobaan tak terduga seperti bayaran buku, uang kas, dan biaya-biaya surprise lainnya. Biaya ini lah yang disadari ato nggak, perlahan tapi pasti bisa juga menguras rekening kita. Ya setidaknya kalau bayar uang kas itu masih biasa, tapi urusan bayar buku atau biaya-biaya yang besarnya diatas 20 rebu, nah itu lumayan lah bisa menguras rekening. Apalagi kalau bertubi-tubi, that's very... very wow!

Mengingat urusan nabung juga, dulu saya ini rajin nabung. Malah lebih rajin daripada sekarang. Walopun dulu cuman bisa nabung seratus dua ratus, serebu, dan bersyukur banget kalo dapet seratus rebu, tapi tetep saya tabungin. Saya dulu jajan pakai uang yang emang dikasih buat jajan, sementara duit buat nabung itu bisa dikasih dari orangtua, angbao, ato nggak kembalian sisa jajan itu. Dan karena rajin nabung itulah keinginan saya nggak tanggung-tanggung. Waktu saya kelas satu SD, saya bisa beli bola basket sendiri pake uang hasil tabungan saya. Yang edannya lagi, semakin besar keinginan saya tambah sinting (dan syukurnya sempat terrealisasi). Saya pernah nabung buat beli chandelier yang digantung di ruang tamu (sebelum rumah saya pindah), dan juga sempet ingin beli grandfather clock. Nggak cuma itu, saya juga ingin beli piano dan biola. Mungkin keinginan anak SD untuk punya piano atau biola masih bisa ditoleransi, tapi gimana dengan chandelier dan grandfather clock? Bersyukurlah orangtua saya rupanya ngedukung keinginan saya ini, dan akhirnya bisa terrealisasi. Rasanya bangga banget punya chandelier yang dibeli dengan hasil nabung sendiri. Dan tentang grandfather clock, sebenarnya belum terrealisasi. Tapi sebagai gantinya, dibelikanlah jam dinding dengan bandul sebagai pengganti kehadiran jam besar di rumah. Tapi setidaknya, keinginan-keinginan yang edan waktu saya masih kecil udah terrealisasi.

Lantas gimana dengan sekarang? Yang saya rasa harus saya lakukan adalah semakin memantapkan semangat nabung dan lebih menutup mata dan telinga dari godaan-godaan yang bikin dompet semakin tipis. Keinginan boleh ada, tapi keinginan itu harus direalisasikan dengan beberapa pengorbanan, salah satunya ya menabung. Semoga akhir bulan ini saya masih punya seratus ribu tambahan di rekening.

Go, go, semangat!