Translate This Page

Thursday, June 3, 2010

Menembus Dingin, Angin Dalam Kesendirian

Sesak, kuil tua itu dipenuhi oleh cukup banyak turis yang datang berkunjung. Aku harus mengakuinya, Kyoto sangat mengagumkan. Kuil-kuil Shinto dan Buddha berdampingan bersama dalam harmoni tanpa ada pertentangan antar dua keyakinan yang pada dasarnya berbeda. Lagi, pelancong dari ras kaukasius itu semakin memadati kuil-kuil tua yang kelihatannya kesal dengan semakin banyaknya manusia yang mencoba menjajakinya. Teman-teman satu tur sekolah dan guru-guru terjebak di dalam kuil, mencoba mencari jalan keluar sambil terus berusaha mendapatkan udara segar yang bersaing dengan bau dupa dan asapnya. Aku tak begitu suka dengan bau dupa, sehingga 3 menit melihat-lihat bagian dalam bangunan kayu tersebut kurasa sudah cukup. Langit Kyoto kelabu, sesekali ada kabut tipis menghalangi pandangan sejauh kurang lebih 8 meter. Aku berjalan keluar kuil, mencoba menembus dinginnya cuaca. Entah berapa derajat Fahrenheit, tapi udara dingin berhasil menembus jaket dan kaus lengan panjangku kemudian menusuk kulit menuju tulangku yang remuk perlahan. Di tengah-tengah usahaku mendapatkan hangat tubuh agar suhu tubuh kembali optimal, aku masih bisa melihat seseorang duduk di tangga kuil. Ia melihat ke arah danau di depannya. Dari kejauhan di ujung danau ada sebuah jembatan yang menghubungkan Kyoto dengan hingar bingar megapolitan prefektur setelahnya. Matanya terlihat sayu, namun masih ada semangat dari rona wajahnya.

"Ka Bayou ngga masuk?", tanyaku sambil terus menggosok-gosokan tanganku.
"Ngga ah dek..", jawabnya sederhana. Anak yang usianya hampir seumuranku walaupun lebih tua, dengan tinggi yang lagi-lagi hampir sama dan tentunya dia yang lebih tinggi. Kakinya dihentakkan ke anak tangga, entah karena apa. Ia pasti kedinginan. Celana jeans biru tidak bisa membantunya menahan cuaca seperti ini. Jaket hitam aksen ungu tuanya juga takkan membantunya. Ia mulai membatu namun wajahnya masih menunjukkan senyum khasnya. Seseorang yang menyenangkan menurutku.
"Kenapa? Di dalem ada banyak orang loh ka."
"Ngga ah dek. Kan bau dupa. Bayou ngga suka, bikin pusing sama pasti baunya ngga hilang-hilang."
"Iya juga sih ka.."


Salah satu alasan mengapa aku pun tak mau berlama-lama di dalamnya. Untuk menghilangkan bau dupa itu memang cukup sulit. Sudah cukup pengalamanku saat kepergian Opa untuk selamanya. Di ruangan yang cukup besar itu kurasa mereka meletakkan dupa di setiap sudut rumah, di depan altar sudah pasti. Selesai upacara tersebut, aku benar-benar mandi untuk menghilangkan bau dupa yang menjelma menjadi bau tubuhku. Ditambah baunya menempel di bajuku. Bahkan parfum sekelas Giorgio Armani pun kalah dengan bau dari batangan tipis berwarna merah tersebut.

"Kak Bayou lagi bosen ya?"
"Ngga. Lagi asik aja sendirian di luar."
"Kok sendirian? Biasanya sama yang lain. Oh, kakak kan di dalem ya..", aku sedikit bingung karena tidak biasanya dia agak renggang dengan kakakku.
"Ya biarin aja dek, dia kan lagi ikutan tur. Kalo Bayou ngga mau ikutan ah cape. Disini aja jadinya ngeliat-liat pemandangan."
"Apanya yang diliat ka? Sakura belum mekar."
"Ya gapapa. Emangnya harus selalu mekar ya?"
"Tapi kan dingin ka. Masuk ke bis aja yuk ka.."
"Ngga ah. Bayou mau tetep disini aja. Ade aja ke bis duluan, nanti kaka susul sambil bawa takoyaki. Kamu mau kan, dek?"
"Hmm.. Kita beli barengan aja yuk kak. Masih ada beberapa sen nih."


Vendor takoyaki itu berada tak jauh dari kuil. Bahkan dari sini aku masih bisa melihat bis rombongan kami. Sebuah bangku kayu berwarna coklat kehitaman menjadi tempat kami beristirahat sejenak sambil menggigit setiap bagian dari makhluk bertentakel itu.
"Enak ya ka.."
"Iya. Apalagi sepi kaya gini."
"Ade ngga ngerti, ga biasanya Ka Bayou suka sendirian."
"Hmm.. Ada saatnya kamu menyendiri. Kamu ga bisa selalu ada di dalam hingar bingarnya kesibukan atau kesenangan kamu. Terkadang kamu dapat ketenangan jiwa dan kesenangan tersendiri saat kamu sendiri kaya gini."
"Maksudnya?"
"Secara ngga sadar, saat kamu sendiri di tempat kaya gini kamu akan dapetin ketenangan di jiwa kamu. Berfikir juga jadi lebih baik karena otak kita lebih jernih. Kuil ini, menyatu sama alam di sekitarnya. Berhasil membuat atmosfer mengagumkan, khususnya secara pribadi buat Bayou malahan jadi pengalaman spiritual tersendiri. Di tangga kuil tadi, Bayou masih bisa introspeksi diri dan berfikir tentang banyak hal. Bayou juga menyadari banyak hal-hal kecil yang sering dianggap remeh ternyata benar-benar punya pengaruh besar ke hidup Bayou. Di kesendirian juga Bayou menyadari akan pentingnya cinta, sahabat, dan keluarga. Bayou merasa lebih tenang dan lebih sehat di tempat seperti ini. Kebisingan dari mesin-mesin mobil, motor, polusi, cuma bikin Bayou sakit. Tapi disini, walaupun dingin tapi bikin Bayou merasa benar-benar hidup dan memang inilah hidup yang sebenarnya. Klaus, apa yang disebut hidup tidak selalu ketika kamu merasa sangat senang dengan semua kesenangan yang dibuat manusia. Kamu akan benar-benar hidup saat kamu menyatu dengan alam. Saat dingin menusuk tulang kamu, jangan anggap itu sebagai ancaman. Dingin mencoba mendekatkan diri dengan kamu dan saat kamu berhasil beradaptasi dengannya, kamu semakin dekat dengan alam. Alam membuat kamu mengintrospeksi diri kamu, memperlihatkan kesalahan-kesalahan atau sisi negatif yang harus diperbaiki. Alam juga yang membuat kamu mengerti akan kebesaran Tuhan. Bayangkan, apa ade bisa mikir tentang kebesaran Tuhan kalau di tempat yang ribut seperti itu? Atau ketika ada sangat banyak orang? Ya mungkin kamu bisa, tapi tak akan pernah diresapi dan dihayati. Saat kamu sendiri dan hanya bersama alam, di saat itulah kamu menyadari betapa indahnya keajaiban Tuhan."


Aku terdiam dan memaknai kata-kata Kak Bayou. Sebuah paragraf yang cukup panjang mengalir lancar dari mulutnya. Sebuah hal yang tak pernah kukira dari mulut seorang Kak Bayou, orang yang kukenal sebagai seorang yang lincah dan atletik. Kata-katanya terlalu bijak, sehingga aku tenggelam ke dalam pemaknaannya. Penjual takoyaki itu tidak mengerti dengan bahasa yang kami gunakan, sehingga ia kembali menyalakan pemantik apinya dan merokok dalam-dalam. Asap rokok segera hilang ketika perlahan butir-butir air turun dari langit. Hujan. Semakin lama semakin deras. Kami berlari ke arah bis, dan dari arah tangga kuil teman-teman dan guru-guru kami pun berlarian menuju bis. Hujan datang keroyokan, membuat kami ketakutan karena kalah jumlah. Setelah mencari tempat duduk, aku memilih duduk di sebelah Kak Bayou yang ternyata masih menikmati keindahan alam di luar.

"Hujan. Saat hujan, kamu tau ngga de bahwa dunia ini berubah?"
"Maksudnya?"
"Saat hujan, akan ada sesuatu yang berbeda di dunia ini. Kamu bakal tau kalau kamu udah bisa menyatu dengan alam. Bisa satu hati dengan alam. Kalau dilihat dari atas sana mungkin bisa terlihat bedanya."


Aku berada dalam pemaknaan dan kebingungan tersendiri karena kata-katanya. Bis mulai melaju, ke arah jembatan menuju hingar bingar perkotaan. Hujan turun cukup deras. Daun-daun pohon elm berguguran karena berat rintik hujan yang ditanggungnya. Di kaca, butiran-butiran hujan membentuk sungai, bertemu di satu titik dan turun ke bawah. Aku mulai mendapati diriku dalam suhu tubuh yang tepat, sehingga bisa melakukan berbagai pergerakan. Cuaca di dalam bis lebih hangat dibandingkan cuaca di luar. Jendela mulai tertutupi uap air. Aku menuliskan namaku di jendela. Dari kejauhan terlihat kuil tua tadi. Berdiri kaku dengan balutan warna coklat tua kemerahan. Gerbang kuil seolah menyambut pengunjung dengan payung-payung aneka warna. Cukup lelah, aku mengatur sandaran kursi. Kak Bayou kelihatannya tertidur. Aku pun mendapatkan posisi ternyaman dan mulai menutup mataku dalam campuran hingar bingar anak-anak dan suara air hujan di atap bis. Aku merasakannya. Air hujan itu menerpa wajahku halus.

Pasir Hangat Menerpa Telapak Perih

Pukul 3 sore merupakan waktu yang tepat untuk meluangkan sejenak waktu di bawah rimbunnya pohon kelapa sambil menikmati deburan ombak diikuti dengan suara gemercik dari anak ombak yang menerjang pasir basah kecoklatan. Sementara yang lain mencoba bermain air agak ke tengah, saya menikmati sejuknya angin laut sore itu, di atas sebuah kursi pantai dan ditemani dengan alunan lagu-lagu yang dengan tepat saya pilih dalam playlist berjudul "Sea, Serenity and Sunset". Sengaja saya tidak memakai kacamata hitam karena tidak mau dunia yang telah Tuhan ciptakan ini hanya sebatas layar monokrom oleh sepotong kaca kecil berwarna kehitaman yang ditempelkan dengan kuat pada sebuah frame berwarna hitam dari bahan stainless steel. Musik terus mengalun, menit demi menit terus berputar. "Beyond The Sea" telah sampai pada waktunya ia harus dimainkan, dan irama alto saxophone terdengar manis di telinga. Sedikit beradu keras dengan gemuruh ombak, namun masih bisa terdengar dengan jelas melodi-melodi di nada dasar C mayor tersebut.

Angin laut kembali berhembus, dan terus berhembus. Terasa halus di wajah dan menyegarkan. Saya bosan berlama-lama membangkai di atas kursi pantai kayu itu. Mulailah berjalan sepanjang pantai dan menginjak partikel-partikel pasir kecil yang terasa hangat di telapak kaki. Sesekali saya menginjak pecahan kerang yang cukup menusuk, tapi tidak sampai melukai saya. Berjalan lebih mendekati arah air, perlahan dan halus anak ombak mencoba menerjang kaki saya membuat saya runtuh ke pasir. Saya cukup kuat untuk berdiri tapi tidak sanggup menahan untuk tidak semakin bermain-main dengan ombak. Saya duduk di pasir dan mulai merasakan air membasahi lutut saya, kemudian terasa masuk ke dalam celana. Basah dari mulai pinggang. Matahari bersinar cerah, tapi tidak panas. Saya semakin bergairah untuk lebih menikmati sore ini. Bau air laut yang asin masuk ke hidung, dan saya pun semakin berjalan ke arah lautan biru. Berdiri menerjang ombak, yang bukan anak ombak lagi. Angin mencoba menguak rambut yang telah ditata dengan rapi.

Suasana yang menyentuh hati, tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Betapa keindahan yang telah Tuhan berikan tak bisa dibandingkan dengan apapun. Sinar yang terpancar hangat, desiran anak ombak halus, pasir hangat sehalus kapas. Apalagi yang bisa saya katakan? Sejauh mata memandang, hanyalah lautan biru tua tanpa batas. Langit biru cerah, awan Cirrus putih, burung-burung camar, musik yang mengalun, dan sebungkus biskuit coklat ditambah dengan segelas teh limun dingin. Beberapa anak kecil berlarian, entah apa yang mereka kejar. Ada banyak layang-layang mencoba berpacu melawan gravitasi di langit sana, semakin mereka mencoba bebas, semakin benangnya menarik kembali mereka. Para peselancar menontonkan keahlian mereka menari diatas ombak, lekukan-lekukannya seperti legato yang mengikat not-not agar tidak lepas. Di sebelah sana ada banyak sekali orang yang mungkin sama-sama sedang menikmati mahakarya Tuhan ini. Beberapa turis asal negara-negara barat terlihat menyolok dengan bikini mereka. Setelah lelah bermain dengan air, saya kembali ke pinggir, naik ke kursi pantai dan menikmati lagu-lagu selanjutnya.

Matahari semakin turun, langit seperti di set menuju pengaturan warna magenta yang lebih tinggi, degradasi warna alami yang pastinya akan membutuhkan puluhan juta ton cat dan jutaan manusia untuk membuat lukisan sebesar itu. Siluet kapal-kapal nelayan mulai terlihat. Sinar matahari menyorot wajah bak spotlight. Angin lagi berhebus halus. Teh limun dingin sekarang telah habis, menyisakan sepotong limun di bibir gelas yang terlihat kaku. Es di dalamnya perlahan mencair. Saya pun kembali tertidur.

Monoton, Mematung, dan Membusuk

Melangkah ke jajaran batu-batu yang disusun sedemikian rupa, membuat sebuah pola klasik antara warna kelabu dan merah terakota yang mulai pudar seiring ban-ban dan tapak sepatu meingjaknya. Tersusun menjadi sebuah jalan yang cukup lebar, mengarah ke sebuah komplek bangunan-bangunan yang terlihat kusam. Daun-daun kering tertarik gravitasi, tak bisa melepaskan diri dari jeratnya, mengotori jalan tersebut. Dari kejauhan tampak beberapa tubuh, bercengkrama membuat kegaduhan. Suara-suara yang terdengar sama setiap harinya, wajah-wajah yang sama, dan tentunya apa yang disebut dengan "human beings" yang sama pula setiap harinya.

Menelusup lebih jauh, menapaki anak tangga yang lantainya mulai retak. Retakan-retakan yang terlihat ironis, ketika melewati masa-masa keemasannya. Dinding dengan beberapa retakan bekas gempa tektonik dan noda kusam dari debu, ikut mewakili bekas-bekas jamannya. Beberapa lukisan hasil tangan-tangan terampil menunjukkan kemegahan yang terjadi beberapa tahun silam karena orang-orang hebat yang ada. Namun sekarang mereka pergi, menyisakan lukisan-lukisan dan sedikit graffiti kampung sebagai kenang-kenangannya. Di akhir tuntunan tangga terdapat lobby kecil, sangat kecil dengan ukuran 2 x 2 meter. Menghubungkan koridor yang ada di sisi kanannya, tangga yang menuju ke dunia berikutnya, maupun surga bagi para penderita diare ataupun mereka yang tak kuat melepaskan hajatnya. Bau yang sama berasal tempat dari ujung anak tangga di setiap lantai. Melihat ke arah kanan, koridor tua dan mengerikan memisahkan dua buah ruangan yang cukup besar. Koridor gelap, terkadang lampu neon itu berkedip-kedip manja. Kedipan yang menakutkan selepas matahari turun ke peristirahatannya. Tubuh lemas dengan langkah gontai setiap kali menapaki tangga yang sama, memasuki koridor yang sama dan ruangan yang sama walaupun hanya beberapa hari dalam seminggu. Ya, sepertinya 5 hari dalam seminggu mengalami deja vu yang sialnya akan terus dialami sampai masanya selesai.

Di lantai terbawah gedung, jika ditelanjangi secara horizontal akan terlihat seperti labirin kecil. Dibawah setiap tangga utama, terdapat tangga yang mengarah ke mezzanine. Sumpek dan sesak, di ruangan kecil yang berukuran mungkin hanya 2 x 4 meter. Memasuki pintu kaca yang berderit setiap terbuka, ada sebuah ruangan yang cukup besar. Bisa jadi titik pusat di lantai terbawah. Di tengah-tengahnya ada pintu yang menghubungkan ke koridor yang lebih pendek, namun terdapat banyak pintu. Salah membuka pintu semoga tidak masuk ke lubang buaya. Di ujung koridor ada pintu menuju udara bebas. Lagi-lagi berderit setiap dibuka. Suara deritan bak jeritan anak kecil yang disiksa orangtuanya.

Dibalik semua perincian bangunan, bagaimana dengan penghuninya? Entahlah, mereka sama tak berubah.
Tak ada yang berubah. Hitam dan putih. Kursi yang sama, debu yang sama.
Wajah menyebalkan dan bualan hasil copy-paste oleh manusia itu sendiri.

Monoton, persis layar TV tahun 50an.

Memang Tidak Tahu

Hidup memang bukan DVD player ataupun iPod yang bisa me-rewind segala jenis film ataupun musik yang ada di dalamnya. Oleh karenanya ketika kita merasa kehilangan suatu bagian dari film atau lagu tersebut, kita akan sangat merindukannya. Bahkan mencari lagi supaya kepingan hilang itu bisa kembali dinikmati.

Mungkin satu tahun setelah aku dan kakakku memilih jalur yang berbeda. Dia mengarah ke pusat kota, sementara aku mengarah ke bagian barat kota. Kehidupan kami berbeda, sangat berbeda terutama dari mulai pukul 7 sampai pukul 5 sore. Jalan pulang yang kami tempuh berbeda, dan tidak ada lagi kaki-kaki yang sangat kukenal melangkah di depan bahkan tepat di sebelahku.

Aku sengaja memilih pulang dengan berjalan kaki. Memang terbilang cukup jauh jarak dari sekolah dengan rumahku. Apalagi kalau dengan berjalan kaki, sudah cukup olahraga hari itu. Sore itu matahari tidak bersinar dengan terik, namun cerah. Segelas minuman dingin di tanganku cukup melegakkan tenggorokan yang perih, walaupun tak bisa dipungkiri kedua kakiku dan tubuh minta dipijit Shiatsu karena letihnya. Sampai di gerbang komplek, aku tak cukup puas. Sebenarnya rumahku tak jauh dari gerbang komplek. Ya, aku bisa melihat pos dari rumahku sebenarnya. Namun karena jarak dari satu rumah ke rumah lainnya yang cukup panjang dan bukan karena taman pemisah atau kavling kosong sebagai pemisah namun betapa besarnya rumah-rumah yang ada, terpaksa aku anggap jarak dari satu rumah ke rumah berikutnya seperti melewati 3 buah minimarket. Waktu yang tepat untuk berjalan-jalan sejenak memang. Beberapa anak kecil bermain sepeda, ada beberapa pasangan muda yang berbagi kasih dan cerita. Dua ekor Terrier kecil digendong oleh pemiliknya sambil berjalan sore, sementara anak kecil disebelahnya yang kurasa adiknya memegang kokoh PSP sambil menekan tombol-tombolnya. Entah permainan apa itu, tapi si adik terlihat sangat serius. Kurasa satu level yang ia tamatkan telah menyelamatkan jutaan nyawa manusia di kota Bandung ini. Aku agak sebal ketika mulai melewati patung di bundaran tersebut. Terkadang beberapa pengendara motor yang egois berputar-putar disana atau menonjolkan kemampuannya bermain kecepatan. Raungan motor terdengar menyebalkan, bahkan lebih buruk dari Tenor Saxophone yang rusak. Semoga saja "Membran Timpani"-ku tidak apa-apa.

Sampai di depan rumah dan langsung melangkah ke beranda depan. Tidak ada yang berbeda. Seperti biasa, mobil tidak ada di carport. Ayah masih di kantor. Dari jauh aku masih bisa melihat kolam dengan air kebiru-biruan. Aku ingin berenang. Beberapa ekor kucing berlarian di atas rumput hijau. Ingin kubawa masuk ke rumah namun kurasa bunda tak akan membiarkan lebih banyak kucing lagi merusak bagian dalam rumah. Bel kutekan dan segera pintu terbuka.

Memasuki ruang tamu, beberapa foto terpajang. Pengaturan vertical blind dan pencahayaan yang tepat memberikan efek sepia yang natural. Aku masuk lebih dalam, ke sebuah ruangan yang besar. Aku meletakan tasku yang berat seolah-olah berisi batuan hasil lava yang membeku di atas kursi piano. Iseng, aku menekan satu tuts di oktaf terendah. Pianonya menggerutu. Aku tertawa kecil. Melangkah masuk lebih dalam ke ruang keluarga. Tak ada orang. Sepi. Ruang makan pun tak lebih daripada tempat menyimpan kursi dan meja makan saja. Buah-buahan sebagai pengganti bunga. Karena melihat sangat sedikit tanda-tanda pergerakan dinamis di lantai bawah, aku pun menyusuri anak tangga, berjalan agak cepat dan membuka pintu kamar sedikit tergesa-gesa, melangkah masuk ke kamar dan membantingkan tubuh ke atas kasur.

Selepas melepas seragam dan mengenakan pakaian yang lain, aku melangkah turun. Bunda di ruang keluarga, dengan bukunya dan secangkir teh limun hangat. Ayah kelihatan baru pulang dari kantornya dan tepat di anak tangga terakhir aku hampir bertubrukan dengan kakakku yang baru tiba pulang sekolah, seperti kejadian kapal Olympic dan Hawke.
"Ade.. Jalannya hati-hati dong."
"Maaf. Ga sengaja."
"Gapapa. Gimana sekolahnya?"
"Cape.", kalimat terakhir sengaja dilontarkan dengan volume yang agak keras agar bunda dan ayah bisa mendengar.
"Kamu ini, yaudah ntar ngobrol-ngobrol sama kakak kalo kakak udah ganti baju ya dek.."

Kakakku menghilang dibalik pintu kayu bercat warna putih. Ia bahkan tidak menyisakan bayangannya.

Aku pun pergi ke ruang keluarga. Ayah sekarang ada disana juga dengan bunda. Seperti biasa ayah yang sibuk tidak akan begitu peduli dengan kegiatan-kegiatanku.
"Gimana di sekolah dek?"
"Ga rame. Cape pa."
"Oh.."

Ayah, 'Oh' bukanlah jawaban yang aku ingin dengar. Bunda masih berkutat dengan bacaannya dengan secangkir teh yang setengah habis.
"Bunda.. Ade capek di sekolah."
"Jalani aja, nanti juga betah."
"Ih, dengerin cerita ade coba! Ayolah, ade cape. Bunda sama ayah harus tau."
"Ya ikutin aja. Gitu aja kok repot dek."
"Papa ngga bisa ngerasain sih gimana rasanya!"
"Dek, dengerin papa. Coba aja dulu dijalani. Kamu coba ikhlas, coba jangan terlalu banyak fikir ini itu ini itu. Biarin aja. Omongan orang yang negatif jangan didengarkan. Kalau kamu pusing ya minum obat saja. Ohya, ayah malam ini ada makan malam sama rekan-rekan ayah. Kamu mau ikut, Klaus?"


Aku yang sudah kehilangan emosi pergi dari ruang keluarga. Ayah dan bunda sedikit terkejut namun segera sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Aku ambil tasku di atas kursi piano. Satu bagian tasku menyambar tiang penopang lid piano, bergeser dan miring akhirnya terjatuh. Lidnya menutup dengan keras, membuat piano mengamuk. Ayah, bunda, dan aku pun kaget. Tapi aku tak mau melihat ke belakang. Aku terlalu kesal. Tak pernah didengarkan. Dan memang tak mau mendengarkan.

Memang, memang tidak tahu keadaannya.