Translate This Page

Monday, December 12, 2011

Marah Yang Beretika

Di suatu Minggu, saya pergi ke sebuah mal di Bandung sama temen saya, Sasha. Kebetulan waktu itu dia rencana mau beli baju buat natal dan harus withdraw sejumlah uang dari rekeningnya. Akhirnya saya temenin dia ke ATM buat withdraw karena kebetulan saya juga mau gak mau harus withdraw untuk sebuah alasan kemiskinan (hiks). ATM centernya ada di lantai dasar, dekat atrium jadi saya dan Sasha pergi ke lantai dasar. Di dekat atrium, saya dan Sasha menyaksikan keributan antara dua orang wanita usia paruh baya yang entah meributkan apa, tapi pertengkarannya disebabkan sepertinya karena hal yang agak ringan. Waktu saya dan Sasha melewati dua wanita yang masih berseteru itu, seorang wanita bersikeras bilang, "Dia yang ngeliatin gue terus!". Saya duga ini masalah sepele, sebatas masalah delik mendelik. Dan saya, serta Sasha dan juga pengunjung mal lainnya nggak perlu satu menit untuk mendengar teriakkan dan jeritan amukan kedua wanita tadi karena dalam hitungan detik aja atrium mal sudah penuh sama pengunjung-pengunjung lain yang nonton pertengkaran kedua wanita itu yang semakin hebat. Sialnya, keributan kedua wanita itu terjadi di sebuah tennant. Saya bisa pastikan si penjaga tennant mau nggak mau kehilangan penunjungnya dan malu sekali.

Di depan ATM center, saya bilang sama Sasha, "Malu-maluin banget mereka. Kampungan, nggak punya adat berantem kayak gitu di mal. Diliatin banyak orang pula". Dan waktu saya dan Sasha sedang ngambil uang pun, jeritan amukan kedua wanita itu masih kedengeran keras. Saya bisa liat dari kaca ATM center banyak orang yang mendekat ke tempat kejadian perkara untuk liat langsung pertarungan dua wanita yang mempertaruhkan gengsinya masing-masing, walaupun tentunya image mereka udah pasti jatuh di depan pengunjung satu mal. Waktu saya dan Sasha naik eskalator yang kebetulan sangat dekat dengan TKP, saya bisa liat seorang wanita yang ikut pertarungan itu ngegendong seorang balita yang keliatannya nangis. Dan ketika Sasha udah kembali berbelanja, dia bilang sama saya, "Kalo orang yang berantem itu orang yang aku kenal, pasti udah aku tampar orangnya".

Yap, saya setuju dengan pernyataan Sasha itu. Entah siapa yang memulai dan siapa yang salah, tapi tindakan kedua wanita itu bener-bener memalukan. Kampungan. Saya bahkan berani bilang keduanya murahan. Saking asiknya berseteru sampai teriak-teriak, mereka lupa kalau semakin sengit mereka berteriak, semakin rendah harga diri mereka dihadapan pengunjung-pengunjung mal lainnya. Bayangkan, pengunjung mal di malam hari Minggu itu banyak dan mereka justru menjadi pusat perhatian pengunjung untuk sebuah hal yang sangat-sangat hina, bahkan pengunjung di lantai dua dan tiga pun ikut menonton kejadian itu. Mereka itu wanita, dan mereka bersikap lebih liar daripada singa sekalipun. Parahnya lagi karena seorang diantara mereka sedang menggendong seorang balita. Alangkah nggak pantasnya mereka, yang disebut sebagai orang dewasa, berlaku lebih menyebalkan dan memalukan daripada seorang anak TK di depan balita yang mau nggak mau melihat apa yang orang dewasa lakukan. Mereka dzalim, karena merusak pikiran si balita tersebut. Apa yang dipikirkan si balita itu ngeliat orangtuanya justru bersikap kasar? Apa orangtuanya nggak punya otak? Gimana nanti ketika si balita itu dewasa?

Seorang teman pernah bilang sama saya, "Aku punya hak buat pergi tanpa pake baju kemanapun, tapi orang lain juga punya hak buat nggak ngeliat kita telanjang ketika kita pergi". Kasus ini pun sama. Mereka punya hak untuk mengekspresikan emosi dan kekesalan mereka, mau sampe jenggut-jenggutan rambut, adu scream sampe tampar-tamparan. Tapi karena berada di tempat umum, orang lain juga punya hak untuk bisa menikmati tempat umum itu dengan tenang, tanpa ada keributan apalagi yang disebabkan karena dua wanita yang berseteru dengan gengsinya masing-masing. Marah merupakan sebuah hak, tapi hak selalu punya batasan, yaitu hak yang lain. Karena kita hidup bermasyarakat, ada hukum gak tertulis yang menjelaskan mengenai etika dan adat istiadat. Mengekspresikan emosi bukan sebuah kesalahan, tapi alangkah baiknya kalau ekspresinya didukung dengan etika yang baik. Orang lain akan berfikir lebih baik untuk menyelesaikan sebuah perseteruan tanpa didasari emosi sementaranya ketika kita berpegang pada etika. Marah juga harus didasari sama etika. Ketika marah nggak didasari sama etika, maka iblis sudah berhasil menguasai jiwa. Dan kalau sudah begitu, bukan nggak mungkin sesuatu yang lebih buruk akan terjadi. Saya saat itu ikut kesal. Kesal karena ketidaksopanan mereka marah-marah di depan umum. Kalau Sasha yang ada disana pengen nampar kedua perempuan itu karena kelakuannya, justru saya ingin getok kepala mereka pakai gantungan baju supaya mereka sadar diri dengan kelakuan mereka. Dan saya kembali berfikir, jadi inikah yang disebut dengan kelakuan manusia di era informatika?

Ya Tuhan..