Translate This Page

Tuesday, October 19, 2010

Love is a Danger Zone Part.1

Remember all the journey we've had together to get 'it'?


We explored a whole Amazon, and you were almost drowned. I held your hand so strong that I wouldn't let you die. Down there, could you see 'em? Piranhas and other monstrous creatures. Thanks God, we could survive from that nightmare.


We hiked and tried to climb the Everest. It was extremely cold. Could you feel that? The snow as cold as you never-feel-it-before, you were almost frozen to death. So what would I do then? I searched a cave for you that we could stay inside. You shivered in cold and I hugged you warmly. We gotta reach the peak, together.


When Titanic sank, we both looked for safe place. The water down there would be very cold. I didn't want you to had a hypothermia. Take this, my jacket. You shouldn't get cold. It sank and we got to swim as fast as possible. We got to find any floating things and survived as long as possible. You had to stay on a dry plank, and I would just be in the water. You didn't need to care about me. A lifeboat would come back and we would be safe.


We've had a lot of long long journey to get it. Now, have we got it? Something called 'love'?

Friday, October 8, 2010

Astaga, Ini Tentang Dia Bukannya Anda

Paranoid, saya pernah ngalamin dan orang lain juga pernah. Tapi kalo terlalu berlebihan malahan jadi bikin ribet.

Diceritakanlah saya nulis note tentang seseorang. Yap, ceritanya sih curhat (Kazuma bisa curhat juga ternyata --"), dan yang namanya note di Facebook kan kalo kita nggak set apa-apa (terutama privacy settings) otomatis akan nongol di newsfeed friend-friend kita. Dan yap, bisa dibaca orang juga. Nah inilah yang terkadang bikin orang lain paranoid.

Ketika kita berbicara tentang 'dia', maka bisa timbul perasaan curiga di benak orang-orang. Apalagi kalau objeknya adalah 'kamu', maka bisa-bisa yang baca langsung ngerasa jadi terdakwa. Tapi tidak sodara-sodara sekalian, gak bisa asal seenaknya paranoid kalo belum tau siapa sebenarnya objek yang dimaksud. Dan kejadian yang baru-baru ini berkenaan dengan note si saya itulah yang bikin saya lieur bin rungsing. Ada orang yang merasa bahwa dirinya adalah objek di note yang saya bikin! No, sir! You're not the one whom I've talked about on my note! Kan nggak mungkin kalo saya harus blak-blakan nulisin nama orangnya (bisa-bisa perang dunia ke-tiga ato ke-empat sekalian). Saya sebenernya nggak tau masalah ini secara langsung, tapi melihat gelagat orang tersebut. Saya sering curiga, ada apa sih sebenernya? Kenapa begitu curiga sampe-sampe kayaknya harus di-stalk banget note saya ato status saya ato tweets saya? I'm okay dan saya selama ini juga nggak banyak melakukan hal yang berkaitan dengan anda (sudah cukup asik dengan piano dan Tumblr). Jadi, kenapa harus jadi paranoid?

I'm alright and it wasn't about you. Trust me.

Sunday, October 3, 2010

When You Spend All Night Long To Earn Some Money

Ketika ada orang bilang, "Nyari duit itu susah" maka gue bisa pastikan begitu. Seenak-enaknya sebuah pekerjaan (tentunya karena kita menikmatinya) tetep aja ngeluarin keringat ato nggak capek. Dan tentu saja pengorbanan! Who knows loh, pekerja seks komersial yang kalo menurut beberapa orang (terutama cowo) merupakan pekerjaan yang banyak enaknya (have though that having sex is great?) tapi tetep aja membutuhkan pengorbanan. And I bet you guys have known about that...

Malem itu setelah gue nge-jam sama Ko Izi di MU Cafe at PVJ, gue minta koko lewatin Bragawegg. Padahal dari PVJ ke Setra Duta tuh nggak jauh-jauh banget. Tapi kenapa gue minta jalan yang lebih muter, sampe ke deket Alun-Alun Bandung segala?

Selain menikmati angin malem dan view nightcity yang keren, gue juga bisa ngeliat kehidupan sosial di malem hari. Gue ngeliat gimana interaksi seseorang dengan orang lain di satu tempat berdasarkan pekerjaan dan kebutuhannya (termasuk seks itu). Gue mempelajari setiap pekerjaan yang gue temui di jalan, bahkan walopun cuman pemungut sampah. Yap, gue memikirkan si bapak tua itu. Dia menghabiskan malemnya penuh buat mungutin sampah supaya bisa dapet uang. Tapi apa harus selelah itu? Gue juga ngeliat kios rokok yang masih buka tengah malem dan si pedagangnya harus siap-siap buat banyak threats: preman dan razia. Sementara itu berhubungan dengan PSK, gue berfikir lagi. Dalam hati kecil mereka, pasti mereka nangis karena kerjaan mereka bisa dibilang sebuah pekerjaan yang hina. Memurahkan harga diri mereka dan menjual diri, R.A.Kartini pasti marah banget kalo ada di tempat kejadian. Gue melihat beberapa orang mempunyai pekerjaan yang kontra dengan keinginan mereka. Mereka melakukan sesuatu yang 'gue-gak-mau'. Tau nggak buat apa? Lembaran duit!

Gue mengalami yang kayak gitu. Gue kerja ngemusik kesana-sini dan dapetin duit yang yeah nggak banyak tapi cukup buat gue sendiri. Setidaknya dari hasil manggung itu gue bisa beli makan buat gue sendiri untuk satu hari. Kalo cuman satu hari, berarti gue harus manggung tiap hari supaya setiap hari gue bisa makan? Benar sekali.

Tapi itulah faktanya. Realita kehidupan yang nggak bisa kita hindari. Kita menghadapi kesulitan dalam ekonomi dan berusaha mengembalikan keadaan menjadi stabil bahkan lebih dari berkecukupan. Orang-orang yang gak peduli siang malem nguras tenaganya bahkan sesuatu seperti apa yang disebut orang-orang sebagai 'kehormatan'. Mereka yang nggak peduli berapa banyak liter darah yang harus keluar supaya keluarga bisa makmur. Itulah, hanya karena duit doang. Bisa dikatakan, duitlah yang bikin orang bisa survive. Dan orang harus struggle buat bisa survive.

Kalo gue bercermin sama diri sendiri yang kadang masih aja nganggap remeh soal duit dan ngeluarin duit dari dompet seenak jidat, gue merasa bener-bener kasian sama diri gue sendiri. Setidaknya gue harus bisa bersyukur atas apa yang udah Tuhan kasih. Kalo gue bandingin keadaan gue sama mereka, gue rasa gue adalah orang yang paling menderita di dunia karena ketika mereka bersyukur dan memanfaatkan rezeki yang mereka dapet, gue malah ngebuang-buang itu semua..

Semoga gue nggak lupa untuk selalu berterima kasih...

He Said, "One More Glass, Please!"

Saya biasa diajak kakak saya, Ko Izi nge-jam di MU Cafe PVJ. Walopun saya nggak nyanyi (kadang-kadang juga nyanyi sih, or at least play the keyboard *kalo ada itu pun*), tapi saya seneng bisa kesana. Setidaknya ngeliat dan ngedenger penampilan live acoustic sambil menikmati segelas choco mint blended dan nonton pertandingan bola (walopun gak ngerti).

Kemaren ini karena nggak kebagian tempat, akhirnya koko bilang mendingan duduk di kursi bar aja. Menurut saya, tempatnya VIP dan lebih asik. Atmosphere bar-nya lebih dapet. Sambil bisa ngeliatin bartender bikin minuman dan ngeliatin campuran apa aja yang dia pake. Di sebelah Ko Izi, saya ngeliat seorang pria, udah dewasa tentunya, mungkin umur 25an. Dan yap, orang itu sering saya liat tiap saya ke MU Cafe. Kayaknya udah jadi pelanggan tetap, ato who knows kuncennya :P dan yang saya baru sadar adalah, he couldn't speak Indonesian. Yes, I guessed he was Korean or Japanese. Tapi dia langganan ke MU Cafe sampe malem dan berhasil nenggak mungkin belasan gelas bir.

Dari segi perawakan, dia mungkin setara sama artis-artis Korea (walopun nggak se-cool Uncle Seungho). Pake kacamata dan saya rasa dia maybe pebisnis muda. Setiap saya ngeliat ke arah dia, pasti lagi nenggak gelas birnya. Dan saya berfikir kemudian,

"Ada ya orang yang punya toleransi sangat tinggi terhadap alkohol? Saking tingginya sampe semaleman itu, anggeplah dari jam 9 sampe jam 1 malem udah habis berapa gelas karena nambah terus? Belum lagi cocktail dan minuman laennya yang tetep aja beralkohol. Saya pernah nyicip coklat yang ternyata isinya ada alkoholnya. Oh great, saya sempet mabok gara-gara makan 4 potongan kecil. Ternyata toleransi saya terhadap alkohol gak tinggi. Dan saya gak ngertinya, orang itu dateng setiap Sabtu yah di channel dan jam yang sama. Minuman yang keliatannya sama setiap kedatangannya. Dan ekspresi wajah yang sama! Was he depressed?"

Disaat saya mulai ngantuk, eh dia masih nenggak bir aja. Ciri-ciri saya ngantuk adalah kepala udah nempel ke meja bar terus megangin dompet buat bayar bill. Dan disaat itu juga, si orang itu ngeliat saya sambil senyum. Entah senyum karena saya mengingatkannya ke masa dia waktu muda pas lagi cute-cutenya ato kasian sama saya kayak anak kecil nyasar ke bar.

Kalo saya jadi dia, kayaknya pulang-pulang udah digotong aja tuh..