Translate This Page

Thursday, June 3, 2010

Memang Tidak Tahu

Hidup memang bukan DVD player ataupun iPod yang bisa me-rewind segala jenis film ataupun musik yang ada di dalamnya. Oleh karenanya ketika kita merasa kehilangan suatu bagian dari film atau lagu tersebut, kita akan sangat merindukannya. Bahkan mencari lagi supaya kepingan hilang itu bisa kembali dinikmati.

Mungkin satu tahun setelah aku dan kakakku memilih jalur yang berbeda. Dia mengarah ke pusat kota, sementara aku mengarah ke bagian barat kota. Kehidupan kami berbeda, sangat berbeda terutama dari mulai pukul 7 sampai pukul 5 sore. Jalan pulang yang kami tempuh berbeda, dan tidak ada lagi kaki-kaki yang sangat kukenal melangkah di depan bahkan tepat di sebelahku.

Aku sengaja memilih pulang dengan berjalan kaki. Memang terbilang cukup jauh jarak dari sekolah dengan rumahku. Apalagi kalau dengan berjalan kaki, sudah cukup olahraga hari itu. Sore itu matahari tidak bersinar dengan terik, namun cerah. Segelas minuman dingin di tanganku cukup melegakkan tenggorokan yang perih, walaupun tak bisa dipungkiri kedua kakiku dan tubuh minta dipijit Shiatsu karena letihnya. Sampai di gerbang komplek, aku tak cukup puas. Sebenarnya rumahku tak jauh dari gerbang komplek. Ya, aku bisa melihat pos dari rumahku sebenarnya. Namun karena jarak dari satu rumah ke rumah lainnya yang cukup panjang dan bukan karena taman pemisah atau kavling kosong sebagai pemisah namun betapa besarnya rumah-rumah yang ada, terpaksa aku anggap jarak dari satu rumah ke rumah berikutnya seperti melewati 3 buah minimarket. Waktu yang tepat untuk berjalan-jalan sejenak memang. Beberapa anak kecil bermain sepeda, ada beberapa pasangan muda yang berbagi kasih dan cerita. Dua ekor Terrier kecil digendong oleh pemiliknya sambil berjalan sore, sementara anak kecil disebelahnya yang kurasa adiknya memegang kokoh PSP sambil menekan tombol-tombolnya. Entah permainan apa itu, tapi si adik terlihat sangat serius. Kurasa satu level yang ia tamatkan telah menyelamatkan jutaan nyawa manusia di kota Bandung ini. Aku agak sebal ketika mulai melewati patung di bundaran tersebut. Terkadang beberapa pengendara motor yang egois berputar-putar disana atau menonjolkan kemampuannya bermain kecepatan. Raungan motor terdengar menyebalkan, bahkan lebih buruk dari Tenor Saxophone yang rusak. Semoga saja "Membran Timpani"-ku tidak apa-apa.

Sampai di depan rumah dan langsung melangkah ke beranda depan. Tidak ada yang berbeda. Seperti biasa, mobil tidak ada di carport. Ayah masih di kantor. Dari jauh aku masih bisa melihat kolam dengan air kebiru-biruan. Aku ingin berenang. Beberapa ekor kucing berlarian di atas rumput hijau. Ingin kubawa masuk ke rumah namun kurasa bunda tak akan membiarkan lebih banyak kucing lagi merusak bagian dalam rumah. Bel kutekan dan segera pintu terbuka.

Memasuki ruang tamu, beberapa foto terpajang. Pengaturan vertical blind dan pencahayaan yang tepat memberikan efek sepia yang natural. Aku masuk lebih dalam, ke sebuah ruangan yang besar. Aku meletakan tasku yang berat seolah-olah berisi batuan hasil lava yang membeku di atas kursi piano. Iseng, aku menekan satu tuts di oktaf terendah. Pianonya menggerutu. Aku tertawa kecil. Melangkah masuk lebih dalam ke ruang keluarga. Tak ada orang. Sepi. Ruang makan pun tak lebih daripada tempat menyimpan kursi dan meja makan saja. Buah-buahan sebagai pengganti bunga. Karena melihat sangat sedikit tanda-tanda pergerakan dinamis di lantai bawah, aku pun menyusuri anak tangga, berjalan agak cepat dan membuka pintu kamar sedikit tergesa-gesa, melangkah masuk ke kamar dan membantingkan tubuh ke atas kasur.

Selepas melepas seragam dan mengenakan pakaian yang lain, aku melangkah turun. Bunda di ruang keluarga, dengan bukunya dan secangkir teh limun hangat. Ayah kelihatan baru pulang dari kantornya dan tepat di anak tangga terakhir aku hampir bertubrukan dengan kakakku yang baru tiba pulang sekolah, seperti kejadian kapal Olympic dan Hawke.
"Ade.. Jalannya hati-hati dong."
"Maaf. Ga sengaja."
"Gapapa. Gimana sekolahnya?"
"Cape.", kalimat terakhir sengaja dilontarkan dengan volume yang agak keras agar bunda dan ayah bisa mendengar.
"Kamu ini, yaudah ntar ngobrol-ngobrol sama kakak kalo kakak udah ganti baju ya dek.."

Kakakku menghilang dibalik pintu kayu bercat warna putih. Ia bahkan tidak menyisakan bayangannya.

Aku pun pergi ke ruang keluarga. Ayah sekarang ada disana juga dengan bunda. Seperti biasa ayah yang sibuk tidak akan begitu peduli dengan kegiatan-kegiatanku.
"Gimana di sekolah dek?"
"Ga rame. Cape pa."
"Oh.."

Ayah, 'Oh' bukanlah jawaban yang aku ingin dengar. Bunda masih berkutat dengan bacaannya dengan secangkir teh yang setengah habis.
"Bunda.. Ade capek di sekolah."
"Jalani aja, nanti juga betah."
"Ih, dengerin cerita ade coba! Ayolah, ade cape. Bunda sama ayah harus tau."
"Ya ikutin aja. Gitu aja kok repot dek."
"Papa ngga bisa ngerasain sih gimana rasanya!"
"Dek, dengerin papa. Coba aja dulu dijalani. Kamu coba ikhlas, coba jangan terlalu banyak fikir ini itu ini itu. Biarin aja. Omongan orang yang negatif jangan didengarkan. Kalau kamu pusing ya minum obat saja. Ohya, ayah malam ini ada makan malam sama rekan-rekan ayah. Kamu mau ikut, Klaus?"


Aku yang sudah kehilangan emosi pergi dari ruang keluarga. Ayah dan bunda sedikit terkejut namun segera sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Aku ambil tasku di atas kursi piano. Satu bagian tasku menyambar tiang penopang lid piano, bergeser dan miring akhirnya terjatuh. Lidnya menutup dengan keras, membuat piano mengamuk. Ayah, bunda, dan aku pun kaget. Tapi aku tak mau melihat ke belakang. Aku terlalu kesal. Tak pernah didengarkan. Dan memang tak mau mendengarkan.

Memang, memang tidak tahu keadaannya.

No comments:

Post a Comment

Post some comments, maybe a word two words or a long long paragraph :)