Translate This Page

Thursday, June 3, 2010

Pasir Hangat Menerpa Telapak Perih

Pukul 3 sore merupakan waktu yang tepat untuk meluangkan sejenak waktu di bawah rimbunnya pohon kelapa sambil menikmati deburan ombak diikuti dengan suara gemercik dari anak ombak yang menerjang pasir basah kecoklatan. Sementara yang lain mencoba bermain air agak ke tengah, saya menikmati sejuknya angin laut sore itu, di atas sebuah kursi pantai dan ditemani dengan alunan lagu-lagu yang dengan tepat saya pilih dalam playlist berjudul "Sea, Serenity and Sunset". Sengaja saya tidak memakai kacamata hitam karena tidak mau dunia yang telah Tuhan ciptakan ini hanya sebatas layar monokrom oleh sepotong kaca kecil berwarna kehitaman yang ditempelkan dengan kuat pada sebuah frame berwarna hitam dari bahan stainless steel. Musik terus mengalun, menit demi menit terus berputar. "Beyond The Sea" telah sampai pada waktunya ia harus dimainkan, dan irama alto saxophone terdengar manis di telinga. Sedikit beradu keras dengan gemuruh ombak, namun masih bisa terdengar dengan jelas melodi-melodi di nada dasar C mayor tersebut.

Angin laut kembali berhembus, dan terus berhembus. Terasa halus di wajah dan menyegarkan. Saya bosan berlama-lama membangkai di atas kursi pantai kayu itu. Mulailah berjalan sepanjang pantai dan menginjak partikel-partikel pasir kecil yang terasa hangat di telapak kaki. Sesekali saya menginjak pecahan kerang yang cukup menusuk, tapi tidak sampai melukai saya. Berjalan lebih mendekati arah air, perlahan dan halus anak ombak mencoba menerjang kaki saya membuat saya runtuh ke pasir. Saya cukup kuat untuk berdiri tapi tidak sanggup menahan untuk tidak semakin bermain-main dengan ombak. Saya duduk di pasir dan mulai merasakan air membasahi lutut saya, kemudian terasa masuk ke dalam celana. Basah dari mulai pinggang. Matahari bersinar cerah, tapi tidak panas. Saya semakin bergairah untuk lebih menikmati sore ini. Bau air laut yang asin masuk ke hidung, dan saya pun semakin berjalan ke arah lautan biru. Berdiri menerjang ombak, yang bukan anak ombak lagi. Angin mencoba menguak rambut yang telah ditata dengan rapi.

Suasana yang menyentuh hati, tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Betapa keindahan yang telah Tuhan berikan tak bisa dibandingkan dengan apapun. Sinar yang terpancar hangat, desiran anak ombak halus, pasir hangat sehalus kapas. Apalagi yang bisa saya katakan? Sejauh mata memandang, hanyalah lautan biru tua tanpa batas. Langit biru cerah, awan Cirrus putih, burung-burung camar, musik yang mengalun, dan sebungkus biskuit coklat ditambah dengan segelas teh limun dingin. Beberapa anak kecil berlarian, entah apa yang mereka kejar. Ada banyak layang-layang mencoba berpacu melawan gravitasi di langit sana, semakin mereka mencoba bebas, semakin benangnya menarik kembali mereka. Para peselancar menontonkan keahlian mereka menari diatas ombak, lekukan-lekukannya seperti legato yang mengikat not-not agar tidak lepas. Di sebelah sana ada banyak sekali orang yang mungkin sama-sama sedang menikmati mahakarya Tuhan ini. Beberapa turis asal negara-negara barat terlihat menyolok dengan bikini mereka. Setelah lelah bermain dengan air, saya kembali ke pinggir, naik ke kursi pantai dan menikmati lagu-lagu selanjutnya.

Matahari semakin turun, langit seperti di set menuju pengaturan warna magenta yang lebih tinggi, degradasi warna alami yang pastinya akan membutuhkan puluhan juta ton cat dan jutaan manusia untuk membuat lukisan sebesar itu. Siluet kapal-kapal nelayan mulai terlihat. Sinar matahari menyorot wajah bak spotlight. Angin lagi berhebus halus. Teh limun dingin sekarang telah habis, menyisakan sepotong limun di bibir gelas yang terlihat kaku. Es di dalamnya perlahan mencair. Saya pun kembali tertidur.

No comments:

Post a Comment

Post some comments, maybe a word two words or a long long paragraph :)