"Aku berumur kurang lebih 5 tahun ketika melihat iklan tentang piano di koran pagi itu. Iklan itu tidak begitu menarik karena aku sudah punya pianoku sendiri. Aku di usia itu tidak begitu peduli dengan piano yang kumiliki, hingga akhirnya piano itu berakhir di tempat pembuangan sampah karena ulahku sendiri.
Suatu siang, aku melihat sebuah iklan di koran tentang piano. Harganya pada saat itu masih terjangkau. Aku berharap bisa memilikinya dengan alih-alih "yang baru yang bagus". Sayangnya kedua orangtuaku tak membelikannya. Mungkin takut hal yang sama akan terjadi. Aku pun tak terlalu memikirkannya, karena entah kenapa saat itu piano bukan sebuah hal penting untukku.
Beberapa tahun kemudian, mulai muncul ketertarikanku terhadap piano setelah orangtuaku mengajakku ke sebuah resital piano. Melihat kakak itu memamerkan keahliannya menggerakan ke-sepuluh jarinya diatas deretan tuts hitam putih, spontan jari-jariku terasa gatal. Sesampainya di rumah aku mencari pianoku dan menyadarinya bahwa aku yang membuatnya terlantar di tempat sampah. Entah seperti apa nasibnya sekarang, dan aku sedikit kecewa membayangkan bagaimana mesin-mesin itu merobek kayunya yang hitam dan deretan tuts hitam putih itu kemudian tak lebih dari sekedar batangan kayu yang entah nasibnya jatuh ke pembakaran atau di-recycle.
Ayah membelikanku sebuah keyboard ketika aku memasuki usia 10 tahun, dimana ayah dan bunda pada akhirnya melihat bakatku yang sesungguhnya. Aku pun akhirnya sadar bahwa musiklah teman baikku. Suatu malam aku menangis mengingat betapa jahatnya aku menyakiti piano teman masa kecilku dulu. Sempat aku melihat piano yang mirip dengan piano milikku di rumah seorang teman, dan berharap bisa membawanya pulang. Aku sangat merindukan suaranya.
Memasuki tahun pertama di primary high school, aku pun bertemu dengan guru piano pertamaku. Dari sanalah aku mulai mengenal piano yang sebenarnya, bukan sekedar suara dari speaker keyboard. Aku mulai mengenal kegunaan setiap pedal dan mengerti mekanisme kerjanya sehingga menghasilkan bunyi-bunyi yang indah. Keinginanku terhadap piano semakin memuncak ketika aku mendengar ulang sebuah kaset musik klasik yang pernah kubeli saat aku masih di SD.
Ide mengenai piano semakin bertambah dan sepertinya berada di urutan pertama wishlist-ku bulan Desember itu. Aku semakin menginginkan kehadirannya ada di rumah. Semakin aku menginginkannya, semakin aku sadar bahwa keadaan yang membuatnya tak bisa bersamaku. Aku menangis dan berharap orangtuaku bisa membelikannya untukku. Sebenarnya, keinginan ini sudah ada ketika aku berusia 10 tahun, dimana pada akhirnya ayahku membelikanku sebuah keyboard sebagai pengganti piano. Tapi tetap, piano itu tak tergantikan dan yang ada di benakku hanyalah piano. Tangisanku semakin menjadi ketika suatu hari aku menyadari bahwa sebuah kejadian sempat memaksaku untuk melupakan segala sesuatu tentang piano.
Musik klasik merasuk di pikiran berbulan-bulan kemudian. Aku pun mengikuti sebuah kelas piano dan mendapati jiwaku sangat tenang bersamanya. Aku bahkan rela tinggal di kelas tersebut hanya untuk bermain piano. Aku sangat senang jika ayah membawaku ke fakultas musik di universitas tempatnya mengajar dan bekerja. Aku selalu ingin bermain piano kapanpun dan dimanapun aku menemukan piano. Entah itu piano rusak atau piano bagus, jari-jari ini sangat gatal untuk menyentuhnya. Doaku setiap malam kepada Tuhan untuk bisa memberiku hadiah besar itu. Dan sembari aku berdoa, aku terus berusaha mencari informasi apapun tentang piano dan semakin berlatih musik klasik dengan tekun. Aku sadar, kekuranganku ini tak boleh jadi penghalang. Bagaimanapun juga, apapun yang aku lakukan dengan keyboardku adalah salah satu jalan agar aku bisa mendapatkan piano yang aku inginkan. Dan pada akhirnya, keinginan terbesarku adalah menjadi pianis konser yang bermain dengan orkestra ternama.
Suatu sore, ayahku menelponku tiba-tiba. Aku kaget karena sore itu sedang hujan dan ayahku memintaku menyusulnya untuk bertemu di sebuah shopping center. Sesampainya disana, aku terkejut karena ayah dan ibuku justru membawaku ke sebuah toko musik. Dan yang lebih terkejut adalah ketika ayahku menyuruhku mencoba seluruh piano yang ada disana lalu memilihnya untuk dibawa pulang! Terima kasih pada Tuhan dan kedua orangtuaku kupanjatkan ketika kusadari bahwa mimpi ini akhirnya menjadi nyata, mimpi yang selalu menghantuiku selama bertahun-tahun dan aku tak menyangka akan secepat ini benda raksasa itu akan hadir di tengah-tengah kehangatan keluargaku.
Raksasa hitam itu duduk tenang di kediamannya di ruang keluarga. Sekarang dan setiap hari, alunan lagu-lagu terdengar dan bergema di langit-langit rumah. Partitur musik klasik mulai berserakan dimanapun, dan gema dari suara piano itu sudah terdengar familiar sekarang. Aku, tak akan menyia-nyiakannya setelah aku memimpikannya. Aku tak akan sampai mengulang kejadian yang sama. Impianku untuk mendapatkan piano lain yang lebih besar memang sempat terbersit, namun apapun yang terjadi benda ini akan selalu mewarnai hari-hariku. Jiwaku menyatu dengannya dan tak akan kubiarkan apapun menjauhiku darinya. Piano adalah sahabat terbaikku, dan sampai kapanpun akan selalu tetap menjadi yang terbaik.."
Kazu inget dulu Kazu ingin banget punya piano sampe akhirnya papa belikan Kazu sebuah piano. Tapi Kazu bersyukur karena, apa yang dilakukan oleh tokoh cerita tersebut sudah Kazu lakukan. Kazu tak menyia-nyiakan keberadaannya dan piano itu adalah teman terbaik Kazu. Kazu ingat pernah menangis karena sangat menginginkannya, dan mencari banyak berita tentang piano-piano. Sebuah piano menjadi pilihan Kazu dan Kazu rasa itulah pilihan yang terbaik. Piano itu masih ada sampai sekarang dan menemani Kazu berlatih Sonata yang sampe sekarang belum kelar-kelar :(
Di cerita lain, terkadang merasa menyesal ketika akhirnya memiliki sesuatu yang sering dibiarkan atau sepelekan (anggaplah semacam hit-and-run driver atau by-pass). Sudah menyimpannya bertahun-tahun dan membiarkannya dengan segala macam keadaan yang menerpanya. Sementara di luar sana, ada beberapa orang yang berharap bisa memilikinya. Terlalu sedih untuk melepasnya, tapi terlalu apatis untuk menyentuhnya.
Kazu denger cerita tentang temen yang punya segala fasilitas (yang beberapanya adalah impian Kazu). Salah satunya adalah sebuah piano. Kazu dari dulu sampe sekarang kalo denger ada piano dirusakin atau dibiarin sampe rusak berkarat ato bahkan yang kasus paling gatel waktu tau ada sebuah baby grand piano 'Steinway & Sons' dari jaman Belanda yang dibiarin sama pihak .................. sampe kayunya lepas! Menyakitkan! Ga bisa dimaafkan! Kazu aja ngedenger satu tuts bunyinya udah ga nge-tune pasti langsung kelabakan! Oh, maaf balik lagi ke ceritanya. Diceritakan bahwa si anak itu (bukan cerita tapi emang bener) ikut kelas piano klasik, sama kaya Kazu. Dan *hehehe* tuh anak junior Kazu ternyata (tapi belagunya minta ampun). Dan yang disesali oleh Kazu dan guru piano Kazu adalah, apa yang dia punya (piano) justru ga dimanfaatin bahkan dibiarin gitu aja. Kabarnya sih tuh anak hobinya maen terus, sementara tugas piano ga dilatih. Gimana guru Kazu ngga gatel? Kalo dibandingin sama perjuangan dia yang memang dulu ga punya piano sampe-sampe harus tinggal di kampus buat bisa latihan piano dan perjuangannya bisa dapetin piano kayanya kontras banget. Kazu pikir, kenapa ngga tuh anak kasih aja pianonya ke orang yang emang pengen dan berniat banget buat latihan piano dibandingin dibiarin gitu aja? Maen pianonya aja masih ga bener toh? Pernah mendengar tangisan sebuah piano? Mungkin kedengerannya aneh, gila, gak mungkin atau gak waras. Tapi Kazu merasakannya walaupun ngga secara fisik piano itu menangis. Kazu cuman ninggalin dia beberapa hari, tapi tangisan yang Kazu dengar itu ternyata dari hati Kazu sendiri. Piano itu seolah ninggalin SMS di hati Kazu yang akhirnya dibaca pada malam harinya, waktu Kazu ikutan kemah alam dengan sekolah.
"Aku merindukan tuanku yang selalu menyentuh jajaran tuts hitam-putihku. Aku merindukan saat-saat tuanku memainkan sebuah lagu lama, kemudian datanglah teman-temannya ikut bernyanyi. Tuanku sekarang entah pergi kemana, dan harus berapa lama aku harus sendiri?"
Refleks, Kazu merasakan hal yang sama
"Kangen piano. Kalo aja bisa dibawa kesini.. Cuman 2 hari sih ga pegang piano, tapi rasanya ada yang hilang. Ngga ngeliat penampakannya aja bikin gereget. Gimana ya keadaannya di rumah? Ngga rusak kan dimaenin ga bener sama orang lain?"
Setelah satu hati, pasti ada hubungan batin. Walaupun dia cuma benda mati!
Kazu juga sempet inget biola Kazu yang dibiarin selama setaun, lalu akhirnya Kazu sadar bahwa itu biola ga bisa dibiarin gitu aja. Kazu mulai ikut kelas biola dan terus latihan biola sampe akhirnya bisa. Kazu sadar bahwa Kazu yang minta buat beli biola dan Kazu yang harus bisa memanfaatkannya dengan baik.
Kazu sadar, bahwa apa yang kita minta maka kita harus ambil konsekuensinya. Begitupun alat musik. Saat kita sudah satu hati dengan sebuah alat musik, maka alat musik itupun akan menggunakan 'hati'-nya untuk berhubungan dengan hati kita memainkan sebuah lagu yang dimainkan dari hati.