Cause we're better off, separated...
Sepenggal lirik lagu di atas mengingatkan saya sama kejadian beberapa tahun yang lalu, when I was still with someone else. Yah, ketika seorang cowo menyatakan rasa sukanya kepada seorang cewe, lalu menjalin sebuah hubungan, dan tentu saja di tengah-tengah perjalanan mereka selalu ada semacam batu yang bikin kesandung. Tapi batu yang nyandung saya ini bikin saya terseok-seok dan akhirnya nggak bisa melanjutkan perjalanan. Yes, we were separated.
Batu seperti apa?
Di awal, semuanya keliatan baik-baik aja. We texted each other, kayak orang pacaran seperti umumnya. Tapi karena saya punya kesibukan yang lebih daripada dia, jadi kita nggak pernah pergi berdua untuk pacaran. Lagipula, saya kan sebisa mungkin hubungi dia dan kirim dia SMS walaupun nggak bisa setiap hari. Apalagi untuk nelpon, nggak bisa setiap hari. Bukannya pelit, tapi kalo ada keadaan urgent dan saya nggak bisa ngeSMS atau nelpon siapapun gara-gara pulsa habis dipake SMS dan telpon dia, that would be very awkward somehow.
Dan dia sepertinya nggak bisa menerima kenyataan bahwa cowonya seperti ini. Ya, cowonya nggak sering kirim dia SMS, apalagi nelpon dia. Cowonya sibuk les dan sekolah sampe sore, sampe nggak bisa jemput ke sekolahnya dan antar dia pulang ke rumahnya. Yah, saya rasa itu bukan kesalahan saya seutuhnya. Saya nggak bisa memaksa juga kalo emang saya sibuk dan, sejujurnya, dia bukan prioritas pertama saya. Tapi tetap, bukan berarti bahwa saya juga akan nge-ignore dia. She was my girl anyway. Semenjak itu, dan karena saya juga udah mulai nggak nyaman dengan protes dia ini itu, hal-hal kecil juga diprotes, akhirnya saya ngerasa risih. Dia juga semakin gencar nyindir saya di social network. Well I didn't really care at that moment. Girls often do that to their boyfriend, so why should I care? Dan, saya nggak pernah dengar atau tahu ada hukum yang mengatakan bahwa seorang pacar harus nelpon pacarnya tiap hari, ngasih kabar ini itu tiap hari, jalan-jalan tiap hari, dan bahkan, harus lebih nurut sama pacarnya daripada orangtuanya. Kita dilahirkan sama siapa memangnya? Kalau udah begini, hubungan yang dijalani seolah nggak ada cinta.
If love is The Bible, then we are lost in sin. Because it's not in our hearts.
Ya. Saya rasa udah nggak ada cinta lagi. Dan untuk memperjuangkan cinta yang *ceritanya* mulai berlari menjauh, saya rasa nggak ada guna lagi. Sikapnya yang seperti itu bikin saya sadar bahwa dia pengen memiliki saya (almost) absolutely. Saya bukan tipe orang yang pacar-oriented. Saya bahkan lebih milih sahabat daripada pacar. Why? Tanpa kehadiran sahabat atau bantuan sahabat, justru saya nggak akan bisa pacaran sama dia. Tanpa dukungan dan pesan yang mereka kasih buat saya, mungkin hubungan ini nggak akan berjalan. Setelah saya sadar itu, akhirnya saya memutuskan buat merenggangkan hubungan saya sama dia dalam bentuk 'sekedar' hubungan terbuka.
Keesokan harinya, saya dikejutkan sama berita di newsfeed Facebook kalau berita tentang single-nya dia udah merebak. Ngata-ngatain saya lah, bla bla bla, curhat sana sini, dijelek-jelekin, ah cukup. Untung aja saya udah menyadari bahwa cinta itu udah pergi cukup awal, ketika saya bisa melihat indikasi-indikasi hubungan yang 'memaksa' itu. Lagipula, kalau diteruskan semuanya nggak akan baik. Yang ada cuman rasa keterpaksaan dan sense memaksa yang kuat. Berpisah lebih baik. Setidaknya, akan ada kesempatan yang lebih baik untuk menemukan seseorang yang lebih baik. Sekarang saya sudah bersama seseorang yang lebih baik, dan menjalani kehidupan seperti biasanya. I'm fine now.
Cause we're better off, separated...