Melangkah ke jajaran batu-batu yang disusun sedemikian rupa, membuat sebuah pola klasik antara warna kelabu dan merah terakota yang mulai pudar seiring ban-ban dan tapak sepatu meingjaknya. Tersusun menjadi sebuah jalan yang cukup lebar, mengarah ke sebuah komplek bangunan-bangunan yang terlihat kusam. Daun-daun kering tertarik gravitasi, tak bisa melepaskan diri dari jeratnya, mengotori jalan tersebut. Dari kejauhan tampak beberapa tubuh, bercengkrama membuat kegaduhan. Suara-suara yang terdengar sama setiap harinya, wajah-wajah yang sama, dan tentunya apa yang disebut dengan "human beings" yang sama pula setiap harinya.
Menelusup lebih jauh, menapaki anak tangga yang lantainya mulai retak. Retakan-retakan yang terlihat ironis, ketika melewati masa-masa keemasannya. Dinding dengan beberapa retakan bekas gempa tektonik dan noda kusam dari debu, ikut mewakili bekas-bekas jamannya. Beberapa lukisan hasil tangan-tangan terampil menunjukkan kemegahan yang terjadi beberapa tahun silam karena orang-orang hebat yang ada. Namun sekarang mereka pergi, menyisakan lukisan-lukisan dan sedikit graffiti kampung sebagai kenang-kenangannya. Di akhir tuntunan tangga terdapat lobby kecil, sangat kecil dengan ukuran 2 x 2 meter. Menghubungkan koridor yang ada di sisi kanannya, tangga yang menuju ke dunia berikutnya, maupun surga bagi para penderita diare ataupun mereka yang tak kuat melepaskan hajatnya. Bau yang sama berasal tempat dari ujung anak tangga di setiap lantai. Melihat ke arah kanan, koridor tua dan mengerikan memisahkan dua buah ruangan yang cukup besar. Koridor gelap, terkadang lampu neon itu berkedip-kedip manja. Kedipan yang menakutkan selepas matahari turun ke peristirahatannya. Tubuh lemas dengan langkah gontai setiap kali menapaki tangga yang sama, memasuki koridor yang sama dan ruangan yang sama walaupun hanya beberapa hari dalam seminggu. Ya, sepertinya 5 hari dalam seminggu mengalami deja vu yang sialnya akan terus dialami sampai masanya selesai.
Di lantai terbawah gedung, jika ditelanjangi secara horizontal akan terlihat seperti labirin kecil. Dibawah setiap tangga utama, terdapat tangga yang mengarah ke mezzanine. Sumpek dan sesak, di ruangan kecil yang berukuran mungkin hanya 2 x 4 meter. Memasuki pintu kaca yang berderit setiap terbuka, ada sebuah ruangan yang cukup besar. Bisa jadi titik pusat di lantai terbawah. Di tengah-tengahnya ada pintu yang menghubungkan ke koridor yang lebih pendek, namun terdapat banyak pintu. Salah membuka pintu semoga tidak masuk ke lubang buaya. Di ujung koridor ada pintu menuju udara bebas. Lagi-lagi berderit setiap dibuka. Suara deritan bak jeritan anak kecil yang disiksa orangtuanya.
Dibalik semua perincian bangunan, bagaimana dengan penghuninya? Entahlah, mereka sama tak berubah.
Tak ada yang berubah. Hitam dan putih. Kursi yang sama, debu yang sama.
Wajah menyebalkan dan bualan hasil copy-paste oleh manusia itu sendiri.
Monoton, persis layar TV tahun 50an.
Menelusup lebih jauh, menapaki anak tangga yang lantainya mulai retak. Retakan-retakan yang terlihat ironis, ketika melewati masa-masa keemasannya. Dinding dengan beberapa retakan bekas gempa tektonik dan noda kusam dari debu, ikut mewakili bekas-bekas jamannya. Beberapa lukisan hasil tangan-tangan terampil menunjukkan kemegahan yang terjadi beberapa tahun silam karena orang-orang hebat yang ada. Namun sekarang mereka pergi, menyisakan lukisan-lukisan dan sedikit graffiti kampung sebagai kenang-kenangannya. Di akhir tuntunan tangga terdapat lobby kecil, sangat kecil dengan ukuran 2 x 2 meter. Menghubungkan koridor yang ada di sisi kanannya, tangga yang menuju ke dunia berikutnya, maupun surga bagi para penderita diare ataupun mereka yang tak kuat melepaskan hajatnya. Bau yang sama berasal tempat dari ujung anak tangga di setiap lantai. Melihat ke arah kanan, koridor tua dan mengerikan memisahkan dua buah ruangan yang cukup besar. Koridor gelap, terkadang lampu neon itu berkedip-kedip manja. Kedipan yang menakutkan selepas matahari turun ke peristirahatannya. Tubuh lemas dengan langkah gontai setiap kali menapaki tangga yang sama, memasuki koridor yang sama dan ruangan yang sama walaupun hanya beberapa hari dalam seminggu. Ya, sepertinya 5 hari dalam seminggu mengalami deja vu yang sialnya akan terus dialami sampai masanya selesai.
Di lantai terbawah gedung, jika ditelanjangi secara horizontal akan terlihat seperti labirin kecil. Dibawah setiap tangga utama, terdapat tangga yang mengarah ke mezzanine. Sumpek dan sesak, di ruangan kecil yang berukuran mungkin hanya 2 x 4 meter. Memasuki pintu kaca yang berderit setiap terbuka, ada sebuah ruangan yang cukup besar. Bisa jadi titik pusat di lantai terbawah. Di tengah-tengahnya ada pintu yang menghubungkan ke koridor yang lebih pendek, namun terdapat banyak pintu. Salah membuka pintu semoga tidak masuk ke lubang buaya. Di ujung koridor ada pintu menuju udara bebas. Lagi-lagi berderit setiap dibuka. Suara deritan bak jeritan anak kecil yang disiksa orangtuanya.
Dibalik semua perincian bangunan, bagaimana dengan penghuninya? Entahlah, mereka sama tak berubah.
Tak ada yang berubah. Hitam dan putih. Kursi yang sama, debu yang sama.
Wajah menyebalkan dan bualan hasil copy-paste oleh manusia itu sendiri.
Monoton, persis layar TV tahun 50an.
No comments:
Post a Comment
Post some comments, maybe a word two words or a long long paragraph :)