This is the one of the hottest issues in Indonesia today. Yeah, let's walk out from "Century Bank" case for a while, and take a look at this motion.
Okay, time to speak Indonesian! (LOL, taking bilingual class)
Motion ini tiba-tiba terpikir di benak saya setelah sempat di bahas di pelajaran Kewarganegaraan siang itu (entahlah, dalam forum diskusi kelas ada yang tiba-tiba bertanya mengenai ACFTA ini dan langsung dibahas oleh guru pelajaran). Dia (guru pelajaran sosial), memaparkan tentang bagaimana sebenarnya ACFTA itu dan segala macam pernak-perniknya (aksesoris kali, mas...). Ternyata, ide mengenai perdagangan bebas ini tidak muncul sekarang-sekarang, melainkan sudah pernah tercetus sekitar 10 tahun yang lalu! Kalau memang sudah tercetus dari 10 tahun yang lalu, maka seharusnya Indonesia sekarang ini sudah siap untuk menghadapi Free Trade dengan negara-negara Asean lainnya (Laos, Myanmar, dan Vietnam pada tahun 2015) dan tentunya China (hhuuu... saya kangen kampung halaman). Tapi pada kenyataannya, pasar Indonesia 'memang' belum mampu mendobrak pasar luar. Yeah, bisa dibayangkan ketika barang-barang dari luar masuk ke Indonesia dengan bebas. Bagaimana dengan nasib perusahaan-perusahaan di Indonesia, terutama perusahaan kecil atau usaha rumahan?
Dalam kasus termudah, sebelum tahun 2010 saja (misalnya 2009 atau 2008, 2000 juga boleh as you wish dah!) coba kita lihat dari produk-produk yang ada di pasaran, terutama mainan! Jarang banget saya lihat produk dengan atribut 'Made in Indonesia'. Kalaupun ada sepertinya mainan 'asli' Indonesia (becak-becakan, kelereng, atau layangan), tapi kan pada faktanya memang ngga kelihatan kan label 'Made in Indonesia' di layangan, apalagi di kelereng. Sebagai gantinya, kita mungkin pernah dengar lelucon 'orang Bali yang tinggal di Hongkong' alias 'Made in China'. Silahkan coba cari ke toko mainan atau elektronik. Maka kita akan mudah mendapatkan atribut 'Made in China'. Itu membuktikan bahwa begitu banyaknya produk China dibandingkan produk asli Indonesia.
Kasus berikutnya, coba deh ke supermarket atau minimarket. Dan ambil beberapa makanan ringan brand tertentu. Saya, salah satunya yang sering membeli kripik kentang merk ..............., coklat batang merk ............, dan wafer merk ......... Saya dapat dengan mudah melihat label di belakang produk : "Imported from Malaysia" atau "Imported from Singapore". Tentu saja tidak semua produk itu diimpor dari Singapura atau Malaysia. Pasti ada lah produk asli Indonesia. Tapi anehnya, kenapa justru produk 'imporan' itu lebih banyak fansnya dibandingkan produk asli Indonesia? Memang bagi sebagian orang, yang namanya popularitas 'brand' itu faktor utama dalam membeli sesuatu. Misalnya, susu merk A diimpor dari negara blablabla menggunakan teknologi terbaru dan duaar dengan harga N rupiah memiliki kandungan (misalnya ya) kalsium X gram. Sementara susu merk B produksi Indonesia menggunakan teknologi yang ada dengan harga M rupiah yang lebih murah daripada N rupiah namun memiliki kalsium X gram, yang sama dengan susu A. Saya lihat, orang-orang lebih memilih susu merk A karena atribut 'Imported from .....'
Ironis! Seperti yang guru saya paparkan bahwa Indonesia mengekspor bukan barang jadi melainkan bahan baku dan bahan setengah jadi! Contohnya? Kain! Gampang kan? Di Bandung terutama hari Sabtu dan Minggu, Pasar Baru Trade Center yang penuh dengan ratusan bahkan ribuan atau mungkin puluhan ribu umat manusia berjejalan untuk memborong barang sampai perang tawar-tawaran (they keep bargaining but I can't bargain well LOL). Eits, diantara ribuan orang itu yang terdiri dari berbagai ras dan agama, seperti Sunda, Cina, Jawa (yang rela dengan bus wisata rombongan datang buat shopping sepuasnya, thanks for coming to my city ya guys!), Betawi, Batak, Bali, semuanya! Ternyata, ada juga serombongan kelompok yang terlihat 'mirip' kita. Mirip? Yeah, mereka orang Melayu alias Malaysia yang datang jauh-jauh dari Kuala Lumpur atau Johor Baru or wherever they are ke Bandung desak-desakan buat shopping. Mereka memborong (biasanya) ga cuma baju, tetapi kain! Kain? Yup, harga kain (garment) di Indonesia (katanya sih) lebih murah dibanding disana, makanya mereka berombongan datang dan ngeborong kain-kain yang ada. Setelah kembali, entah kain itu dibuat apa disana tapi kain itu akan kembali ke Indonesia sebagai baju bukan kain lagi! Dan parahnya, terkadang baju-baju atau kain hanya dibawa kesana buat di-tag dengan brand tertentu yang mahal atau 'wah', maka seketika pula harganya meningkat tajam. Maka, kain yang dibeli di Indonesia seharga (misalnya) 90.000 IDR, dibawa ke negara lain dan 'dikembalikan' dalam bentuk baju dengan brand apalah yang akhirnya dijual dengan harga 3 kali lipatnya. Ya Tuhan...
Kasus yang sama mengenai ekspor impor juga dijelaskan oleh guru saya tentang kayu rotan. Indonesia mengekspor rotan ke negara lain. Dan akhirnya, rotan tersebut 'dikembalikan' alias diimpor lagi ke Indonesia dalam bentuk furnitur! Kalau aja, Indonesia mengekspor barang jadi, bukan bahan baku atau setengah jadi.. yeah, mungkin setidaknya tidak akan mengalami 'kerugian' seperti itu. Ohya, kembali ke Pasar Baru Trade Center, Bandung. Selagi orang-orang memborong baju dan pesta tawar harga, kain-kain impor datang ke gudang dengan harga yang bersaing ekstrim! Indonesia juga punya banyak pabrik garment, tapi bersaing dengan kain-kain impor dari Cina yang katanya harganya lebih murah dari kain produksi pabrikan Indonesia. Belum lagi kain-kain atau baju dari designer terkenal di dunia seperti Versace, Gucci, atau apalah. Lantas, produk impor akan lebih mendominasi dan tentu saja menyebabkan kerugian buat produk bikinan Indonesia. Harga barang-barang produkan Cina lebih murah karena biaya tenaga kerja mereka juga murah (maksudnya ya.. mungkin dari salary, lebih rendah daripada salary pekerja di Indonesia). Kenapa bisa lebih murah? Karena disana banyak Human Resources. Pasti! China dengan penduduk sekitar 1 milyar, mendominasi daratan yang ada di bumi ini dan tersebar di berbagai negara. Artinya, China punya banyak sekali pekerja kan?
Kalau perdagangan bebas ini dipaksakan, bukannya tidak mungkin bahwa Indonesia akan kalah saingan. Nanti kita lihat, akan sangat banyak produk 'imporan' dari Malaysia, Thailand, Singapore, atau China berserakan dimana-mana (berserakan karena kalau sudah banyak ya.. overwhelming aja kali ya?). Dan bukan tidak mungkin, akan semakin banyak pemutusan hubungan kerja di Indonesia. Memang seharusnya Indonesia sudah mempersiapkan selama 10 tahun itu untuk menghadapi perdagangan bebas ini, tapi sepertinya ya.. ya sudah lah, pada akhirnya I just can hope for the betterment saja. Entahlah, ya saya sih percaya pada mujizat ya (Miracle is real, kan?) yang mungkin tiba-tiba saja pasar Indonesia mendominasi seluruh pasar ASEAN dan China (wow!) dan membuat nilai rupiah menguat (whoaaaa!).
Hhhh... sekarang banyak demo menuntut perdagangan bebas dihentikan. Yeah, mereka pasti sudah melihat prospek kedepannya seperti apa. Semoga saja, langkah-langkah yang diambil para petinggi bukan langkah yang salah.. I wish..
No comments:
Post a Comment
Post some comments, maybe a word two words or a long long paragraph :)